Pewaris Cahaya: Pertempuran Melawan Kegelapan

 

Pewaris Cahaya: Pertempuran Melawan Kegelapan

Hawa dingin menyergap Anya begitu melangkah melewati ambang pintu. Aroma dupa yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan bau apek yang seolah menggenang di udara. Lorong masuk rumah itu gelap gulita, hanya samar-samar diterangi cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui jendela tinggi di ujung lorong. Dindingnya dicat dengan motif hijau lumut dan hitam pekat, guratan kuasnya kasar dan acak-acakan, menciptakan bayangan yang mengerikan.

Anya menarik napas dalam, berusaha meredam rasa takut yang merayap naik. Dia sudah melangkah sejauh ini, tidak mungkin dia mundur sekarang. Mengenakan gaun hitam panjang yang melambai dramatis di belakangnya, Anya melangkah hati-hati, kakinya menekan lantai kayu yang mengeluarkan bunyi decitan nyaring.

Dia tidak sendirian. Di ujung lorong, samar-samar terlihat sekelompok orang berjubah hitam berkerudung mengerumuni sesuatu yang tersembunyi di tengah ruangan. Suara gumaman asing, bernada rendah, dan berirama aneh mengalun pelan. Anya semakin penasaran, rasa takut bercampur dengan keingintahuan yang membara.

Perlahan, dia mendekati kerumunan itu. Seiring langkahnya mendekat, Anya bisa melihat samar-samar ada sebuah altar batu di tengah ruangan, dihiasi dengan patung-patung berwajah mengerikan dan lilin hitam yang menyala redup. Di atas altar, tergeletak seekor domba hitam yang sudah tak bernyawa, bulunya yang lebat dipenuhi noda darah merah kehitaman.

Perut Anya mulas. Bau anyir darah semakin tajam tercium. Namun, tatapannya tak bisa lepas dari sosok yang berdiri memimpin ritual aneh itu. Seorang perempuan. Rambutnya yang panjang tergerai liar, matanya yang sipit memancarkan cahaya dingin di bawah kerudung hitamnya. Perempuan itu melantunkan mantra dalam bahasa yang tak dikenal, suaranya bergetar penuh semangat.

Tiba-tiba, perempuan itu mengangkat tangan, hening pun menyelimuti ruangan. Anya tak bisa menahan diri untuk melangkah keluar dari balik bayangan.

"Siapa kamu?" bentak Anya, suaranya gemetar namun tegas.

Semua yang hadir menoleh ke arah Anya. Mata mereka yang berkilat di balik kerudung hitam menatap Anya dengan dingin. Perempuan pemimpin ritual itu perlahan menurunkan tangannya, lalu tersenyum sinis.

"Anya," ucapnya, suaranya dingin dan menusuk. "Kau akhirnya datang."

Anya terperangah. Darah berdesir dingin di sekujur tubuhnya. Perempuan itu mengenalnya. Tapi siapa dia? Dan apa yang mereka lakukan di tempat mengerikan ini?

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Anya, suaranya parau.

Perempuan itu berjalan mendekati Anya, langkahnya tenang dan anggun. Ketika jarak mereka sudah dekat, Anya bisa melihat dengan jelas wajah perempuan itu. Wajah yang cantik, namun terpancar aura gelap dan dingin yang membuat Anya merinding.

"Kami melakukan ritual pemanggilan," bisik perempuan itu, suaranya menggoda. "Memanggil sesuatu yang akan membawa perubahan besar."

Anya tertegun. Perubahan besar? Apa maksudnya?

"Dan kau, Anya," lanjut perempuan itu, "Kau adalah kuncinya."

Dunia Anya serasa runtuh seketika. Kunci? Kunci untuk apa? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, tak kunjung menemukan jawaban. Rasa takut yang melanda Anya kini berlipat ganda. Dia tersadar, bahwa dia telah melangkah masuk ke dalam dunia yang kelam dan berbahaya, dunia yang mungkin saja tak akan bisa dia tinggalkan.

Otak Anya dipenuhi tanda tanya. Dia ingin berlari, melarikan diri dari tempat mengerikan ini, tapi kakinya seperti terpaku di lantai. Perempuan pemimpin ritual itu, yang Anya tahu bernama Sekala, mengulurkan tangannya. Di telapak tangannya tergenggam sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk spiral bercahaya samar.

"Kalung ini," kata Sekala, suaranya lembut namun menusuk, "adalah warisan keluargamu. Warisan yang selama ini disembunyikan."

Anya ternganga. Kalung itu pernah dilihatnya dalam sebuah lukisan nenek moyangnya yang terpajang di ruang tamu rumahnya. Neneknya tak pernah bercerita tentang kalung itu, tapi sekarang Anya mengerti. Kalung itu adalah alasan Anya dibawa ke tempat ini.

"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Anya, suaranya bergetar.

Sekala tersenyum tipis. "Kami ingin kau membuka portal," ujarnya. "Portal menuju dunia lain. Dunia yang lebih kuat, lebih gelap, dan lebih berkuasa."

Anya mundur selangkah. Membuka portal? Dunia lain? Ini semua di luar nalar. Sekala tak memedulikan reaks Anya. Dia melanjutkan, "Nenek moyangmu dulu adalah pembuka portal. Dan kau, Anya, adalah pewaris darahnya."

Anya menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak mau melakukan ini."

Sekala terkekeh. Tawanya dingin dan bergema di ruangan hening itu. "Kau tidak punya pilihan, Anya. Takdir telah membawamu ke sini. Dan kalung itu..." Sekala menjentikkan kalung di tangannya, cahaya liontinnya berkedip terang, "...akan membantumu membukanya."

Anya menatap kalung itu dengan ketakutan. Dia tak ingin menjadi bagian dari ritual menyeramkan ini. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia sendirian, terjebak di tempat angker ini, dikelilingi orang-orang berjubah yang matanya memancarkan niat jahat.

Tiba-tiba, dari kerumunan orang berjubah itu, seorang pria tua berjanggut putih melangkah maju. Wajahnya keriput, tapi matanya yang cokelat bening memancarkan kebaikan. Dia menatap Anya dengan tatapan penuh arti.

"Anya," ucapnya, suaranya serak, "kau tidak harus melakukan ini. Mereka berbohong kepadamu."

Sekala menoleh tajam ke arah pria tua itu. "Diam, Markus! Jangan ikut campur!" bentaknya.

Pria tua itu tak gentar. Dia menatap Anya lekat-lekat. "Anya, kau bisa menolak. Kalung itu bisa digunakan untuk kebaikan, bukan untuk membuka portal kegelapan."

Sekala melotot marah. Dia hendak meneriakkan sesuatu, namun pria tua itu lebih cepat. Dia melambaikan tangannya, dan entah bagaimana, kalung perak di tangan Sekala melayang ke udara, terlepas dari genggamannya. Kalung itu melayang menuju Anya, mendarat dengan lembut di telapak tangannya.

Anya menatap kalung itu, bingung dan bimbang. Sekala murka. Dia memerintahkan para pengikutnya untuk menangkap pria tua itu. Kekacauan pun terjadi. Para pengikut Sekala menyerbu ke arah pria tua itu, namun pria tua itu sigap menghindar. Dia melemparkan sejumput bubuk ke udara, dan ruangan itu pun dipenuhi asap putih pekat.

Anya memanfaatkan kesempatan itu. Dengan kalung perak di tangan, dia berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menuju pintu masuk. Dia berlari menembus lorong gelap, nyaris tak bisa melihat apa-apa. Teriakan dan suara langkah kaki mengejarnya dari belakang.

Anya mendorong pintu keluar dengan sekuat tenaga. Dia berlari ke dalam malam, tak berani menoleh ke belakang. Dia berlari tanpa henti, sampai akhirnya dia tak sanggup lagi. Dia terjatuh tersungkur di tanah, terengah-engah dan gemetar.

Dia selamat. Tapi untuk sementara. Anya tahu, ini baru permulaan. Kalung perak di tangannya terasa berat, seolah menyimpan rahasia dan kekuatan yang tak terbayangkan. Anya harus mencari tahu lebih jauh tentang kalung itu dan pria tua misterius yang telah menolongnya. Dia harus mencari tahu bagaimana caranya menghentikan Sekala dan rencananya yang jahat. Perjalanan Anya baru saja dimulai, perjalanan menuju pertarungan antara terang dan gelap.

Berhari-hari Anya bersembunyi di sebuah penginapan kumuh pinggir kota. Kalung perak itu selalu melekat di lehernya, liontinnya terkadang berdenyut samar seperti detak jantung. Mimpi buruk tentang ritual pemanggilan dan sosok Sekala yang berwajah mengerikan terus menghantuinya.

Suatu malam, saat Anya tengah terjaga diterpa mimpi buruk, dia kedatangan tamu tak terduga. Pria tua berjanggut putih yang menolongnya di tempat Sekala, kini berdiri di ambang pintu penginapan. Lega bercampur waspada menyeruak di hati Anya.

"Markus," bisik Anya, mempersilakan pria tua itu masuk.

Markus duduk di kursi reyot di depan Anya. Matanya yang bening menatap Anya dengan penuh keprihatinan. "Kau baik-baik saja, Anya?" tanyanya lembut.

Anya mengangguk pelan. "Terima kasih sekali lagi telah menyelamatkan saya."

Markus tersenyum samar. "Kau menyelamatkan dirimu sendiri, Anya. Tapi sekarang, kita harus bahas tentang kalung itu."

Anya merogoh lehernya dan mengeluarkan kalung perak tersebut. "Apa maksud Sekala dengan portal kegelapan? Dan apa yang bisa saya lakukan dengan kalung ini?"

Markus menghela napas panjang. "Kalung itu adalah kunci, Anya. Kunci untuk menyeimbangkan dua dunia. Dunia kita, dan dunia bayangan, yang dipenuhi makhluk kegelapan."

Anya ternganga. Dunia bayangan? Makhluk kegelapan? Ini semua terdengar seperti cerita fiksi.

Markus melanjutkan, "Nenek moyangmu adalah pelindung, bertugas menjaga agar portal antara kedua dunia tetap tertutup. Namun, Sekala dan pengikutnya ingin sebaliknya. Mereka ingin membuka portal dan membiarkan makhluk kegelapan memasuki dunia kita."

"Tapi kenapa?" tanya Anya bingung.

"Kekuasaan," jawab Markus tegas. "Makhluk kegelapan menawarkan kekuatan yang tak terbayangkan. Sekala dan para pengikutnya terobsesi dengan kekuatan itu."

Anya meremas kalung perak di tangannya. Dia tak pernah meminta tanggung jawab sebesar ini. Tapi melihat tatapan penuh harap Markus, Anya tahu dia tak bisa lari.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Anya dengan suara mantap.

Markus tersenyum. "Kau harus belajar mengendalikan kekuatan kalung itu, Anya. Kekuatan untuk menutup portal dan mengusir makhluk kegelapan."

Hari-hari berikutnya Anya lalui dengan berlatih bersama Markus. Di tempat tersembunyi, jauh dari kota, Markus mengajari Anya berbagai teknik mengendalikan energi yang terpancar dari kalung perak. Ternyata, kalung itu tak hanya sekedar kunci, tapi juga perisai yang menyimpan kekuatan cahaya suci.

Latihan itu melelahkan, namun Anya tak pernah menyerah. Dia berlatih dengan tekun, didorong oleh tekad untuk melindungi dunia dari kegelapan. Perlahan, Anya mulai bisa merasakan aliran energi hangat menjalar dari kalung itu ke seluruh tubuhnya. Dia belajar cara menyalurkan energi itu menjadi pancaran cahaya yang kuat.

Suatu malam, saat berlatih, liontin kalung Anya berdenyut lebih kencang dari biasanya. Markus yang melihat hal itu langsung berkata, "Mereka akan datang."

Anya mengerti. Sekala dan pengikutnya telah menemukan jejak mereka. Mereka harus bersiap untuk pertarungan.

Markus menyerahkan sebuah buku tua berkulit rusa kepada Anya. Sampulnya dihiasi ukiran rumit yang samar-samar terlihat di bawah cahaya bulan.

 

"Ini adalah Grimoire Pelindung, buku panduan para pelindung pendahulumu. Di dalamnya terdapat mantra dan teknik untuk melawan makhluk kegelapan."

 

Anya menerimanya dengan tangan gemetar. Rasa gugup dan takut menjalari dirinya, namun tekad untuk melindungi dunia semakin membara. Malam itu, mereka berjaga-jaga, menunggu kedatangan Sekala.

 

Benar saja, menjelang fajar, suara teriakan dan hentakan kaki memecah kesunyian. Sekala dan para pengikutnya, berjumlah lebih dari sepuluh orang, menyerbu tempat persembunyian mereka. Markus dengan sigap menghunus pedang tua berukirkan lambang cahaya, sedangkan Anya berlindung di balik pohon besar sambil membuka Grimoire Pelindung.

 

Pertempuran pun tak terhindarkan. Markus bertarung dengan gagah berani, menangkis serangan demi serangan dari para pengikut Sekala. Pedangnya menebas cepat, cahaya perak menyorot di antara pepohonan. Sementara Anya, dengan jantung berdebar kencang, membaca mantra pemanggil perisai cahaya. Perlahan, cahaya keemasan mulai terpancar dari telapak tangannya, membentuk perisai yang melindunginya dari serangan sihir para pengikut Sekala.

 

Sekala yang melihat hal itu melotot marah. Dia meneriakkan mantra dalam bahasa asing, memanggil gumpalan bayangan hitam pekat yang melesat ke arah Anya. Dengan napas terengah-engah, Anya memfokuskan energinya, memperkuat perisai cahaya hingga gumpalan bayangan itu terpantul kembali, menghantam salah satu pengikut Sekala.

 

Pertempuran sengit itu berlangsung selama berjam-jam. Markus, meski bertarung dengan gagah berani, mulai kewalahan menghadapi banyak lawan. Anya, yang baru pertama kali bertarung, juga mulai kehabisan tenaga. Dia terhuyung mundur saat salah satu pengikut Sekala berhasil menembus perisainya dengan sabit berlumuran cairan hitam.

 

Melihat Anya terluka, amarah membuncah dalam diri Markus. Dengan teriakan hentak, dia melepaskan jurus pamungkasnya, menebas ke segala arah. Para pengikut Sekala terpental mundur, beberapa bahkan mengerang kesakitan.

 

Namun, serangan itu juga membuat Markus terluka parah. Dia terjatuh berlutut, pedangnya terjatuh dengan bunyi dentingan.

 

Sekala memanfaatkan kesempatan itu. Dia memekik dan melantunkan mantra pembuka portal. Di hadapan mereka, udara bergetar, dan perlahan-lahan, lingkaran hitam pekat mulai terbentuk. Makhluk berlendir dan bertaring mengintip dari balik lingkaran itu, matanya yang merah bercahaya menatap dengan penuh nafsu.

 

Anya putus asa. Markus terluka parah, dan dia sendiri hampir tak berdaya. Tapi saat melihat makhluk kegelapan itu akan memasuki dunia mereka, Anya teringat kata-kata dalam Grimoire Pelindung. Mantra penyegel.

 

Mantra pamungkas yang hanya bisa digunakan dalam keadaan terdesak.

Dengan sisa tenaganya, Anya melantunkan mantra itu. Suaranya parau, namun penuh keyakinan. Cahaya keemasan yang selama ini menyelimuti Anya meledak keluar, membanjiri seluruh tempat persembunyian. Para pengikut Sekala menjerit kesakitan, tubuh mereka meleleh terbakar cahaya suci.

 

Lingkaran portal bergetar hebat, tak kuasa menahan pancaran cahaya yang dipancarkan Anya. Makhluk kegelapan di balik portal meraung kesakitan, tubuhnya terhisap kembali ke dalam lingkaran hitam yang perlahan mengecil.

 

Sekala, yang terluka parah akibat mantra penyegel, menatap Anya dengan tatapan penuh kebencian. Namun, tak ada yang bisa dia lakukan. Portal tertutup dengan suara ledakan, dan kegelapan pun lenyap.

 

Anya terjatuh lemas. Tenaganya terkuras habis. Dia tersadar ketika merasakan air dingin menyentuh wajahnya. Markus, dengan luka yang sudah dibalut, tengah memberinya air minum.

 

"Kau luar biasa, Anya," kata Markus dengan suara lemah. "Kau telah menyelamatkan dunia."

 

Anya tersenyum lemah. Dia tak peduli lagi dengan luka di tubuhnya. Yang penting, dia berhasil menghentikan Sekala dan para pengikutnya.

 

Keesokan harinya, Markus membawa Anya ke tempat persembunyian para pelindung yang tersisa. Di sana, Anya disambut sebagai pahlawan. Dia dilatih dengan lebih intensif untuk menjadi pelindung sejati. Kalung perak di lehernya tak lagi menjadi beban, melainkan simbol tanggung jawab dan kekuatan.

Lebih baru Lebih lama