Tia duduk di tepi danau dengan gitar usang di pangkuannya, menatap bulan yang bersinar terang di langit malam. Di seberang danau, sebuah pondok kayu kecil tampak tenang, hanya diterangi oleh cahaya lampu dari dalam. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma rerumputan dan air yang segar. Tia, dengan rambut tergerai yang sedikit berantakan, terlihat tenggelam dalam pikirannya.
Jari-jarinya mulai memetik senar gitar dengan lembut. Nada-nada melankolis mulai mengisi keheningan malam, menyatu dengan suara gemericik air di tepi danau. Tia tidak pernah belajar gitar secara formal, namun jari-jarinya seperti memiliki ingatan sendiri, memainkan melodi yang akrab tapi asing di saat yang bersamaan.
Saat Tia semakin larut dalam permainan gitarnya, sesuatu yang aneh terjadi. Cahaya bulan tiba-tiba memancar lebih terang, hampir seperti menyorot langsung ke arah Tia. Air di danau yang tadinya tenang mulai beriak, seolah merespons melodi yang dimainkan Tia.
Tia berhenti bermain, memandang ke sekeliling dengan bingung, tetapi suasana aneh itu membuatnya ingin terus bermain. Dan entah kenapa, ia merasa tidak takut.
Ia melanjutkan petikan gitarnya, kali ini lebih cepat, dengan nada-nada yang semakin tak terduga. Riak di permukaan danau semakin besar, dan cahaya bulan memancar lebih terang lagi.
Tiba-tiba, dari dalam danau, muncul sosok bayangan besar yang perlahan-lahan naik ke permukaan. Bayangan itu tampak seperti seseorang, namun berkilau seperti terbuat dari air.
"Siapa kamu?" tanya Tia dengan suara bergetar, tetap memetik gitarnya, meski hatinya mulai diliputi rasa takut.
Bayangan itu tidak menjawab, tetapi Tia merasakan energi yang kuat mengalir dari bayangan tersebut ke arahnya. Seolah-olah, bayangan itu menyatu dengan musik yang ia mainkan.
Tia berhenti bermain dan bayangan itu seketika menghilang, seperti asap yang tersapu angin. Keheningan yang aneh mengisi udara, seolah alam sedang menunggu sesuatu.
Merasa penasaran, Tia mencoba memainkan melodi yang sama lagi. Seketika, bayangan itu muncul kembali, kali ini lebih jelas. Wajahnya terlihat samar, tetapi ia tampak tersenyum dengan damai.
Tia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasakan kesedihan yang mendalam dari sosok tersebut. Seolah-olah sosok itu terperangkap, terjebak di antara dua dunia.
Tanpa berpikir panjang, Tia mulai memainkan melodi baru, yang lebih ceria, lebih hidup. Ia berharap bisa membawa kedamaian kepada sosok misterius tersebut. Bayangan itu, dengan senyum yang semakin lebar, mulai menari di atas air, mengikuti irama yang dimainkan Tia.
Saat melodi mencapai puncaknya, bayangan itu berubah menjadi ribuan cahaya kecil yang naik ke langit, menyatu dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip di malam hari.
Tia terdiam, merasa campuran antara lega dan takjub. Apa yang baru saja terjadi terasa seperti mimpi, tapi gitar di pangkuannya dan danau yang kini tenang membuktikan sebaliknya.
Lalu, dari arah pondok kayu, pintu terbuka, dan seorang pria tua dengan tongkat keluar, menghampiri Tia dengan langkah lambat. "Kau sudah membebaskannya," katanya dengan suara pelan.
"Sosok itu, dia adalah roh penunggu danau ini. Dia terperangkap dalam kesedihannya selama berabad-abad, sampai musikmu membebaskannya."
Tia tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Pria tua itu tersenyum hangat, seolah bisa membaca pikirannya. "Musikmu adalah kunci, dan kau telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun selama ini."
Pria tua itu pun berbalik dan berjalan kembali ke pondoknya, meninggalkan Tia yang masih terdiam di tempatnya. Tia menatap danau yang kembali tenang dan bulan yang perlahan kembali ke cahaya normalnya.
Malam itu, Tia pulang dengan perasaan yang sulit dijelaskan, membawa gitar usangnya yang kini terasa lebih berharga dari sebelumnya.
Dan sejak saat itu, setiap kali Tia bermain gitar di tepi danau, airnya akan berkilauan, seolah berterima kasih atas kebebasan yang telah diberikan.