Ketika 'Bermain Tuhan' Bukan Lagi Jawaban



Selama bertahun-tahun, aku merasa telah mengendalikan semua hal. Aku selalu merasa seperti sutradara dari kehidupanku sendiri, seolah-olah aku adalah Tuhan yang memainkan permainan ini. Namun hari ini ketika aku berdiri di depan cermin, ada sesuatu yang berbeda.

Aku menatap cermin, dan yang kulihat adalah diriku sendiri tetapi tidak sepenuhnya. Wajah yang tampak di balik kaca itu lebih muram, lebih keras, seolah-olah ia sudah melalui begitu banyak pertempuran, bahkan yang tak pernah kusadari terjadi. Di balik matanya, ada ketidakpastian, keraguan yang selama ini kubungkus rapi di balik topeng percaya diri.

"Aku adalah Tuhan di dunia kecilku," bisikku pada diri sendiri, mencoba meyakinkan kembali. Tapi bayangan di cermin hanya menatap dengan sinis, seolah-olah ia tahu semua kepalsuan yang telah kubuat.

Langit senja mulai memudar, warna-warni lembut dari awan dan matahari yang terbenam mulai hilang, menyisakan hanya dingin dan gelap. 

Di saat itulah aku menyadari, tidak ada Tuhan yang harus dipersalahkan atas semua ini, tidak ada yang bisa kuatur sekuat apapun aku mencoba.

"Hidup bukanlah permainan," suara dalam hatiku berbisik, tapi aku tak bisa menerima itu.

Selama ini aku merasa telah mengendalikan semuanya. Aku membuat keputusan, aku yang menentukan jalan mana yang harus diambil. Namun mengapa, ketika aku menatap cermin yang kulihat hanyalah kekosongan?

Dengan perlahan aku mengangkat tangan, menyentuh permukaan cermin. Sentuhan itu dingin, dan anehnya bayanganku yang ada di cermin juga merasakan hal yang sama. Aku sadar bahwa aku telah lama hidup dalam delusi, berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan aku.

"Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan?" tanya diriku di cermin, suaranya hampir seperti ejekan.

"Aku tahu semuanya," jawabku, tapi terdengar hampa bahkan bagi diriku sendiri.

"Jika kamu tahu semuanya, mengapa kamu merasa begitu hampa?" tanyanya lagi. Kali ini aku tidak bisa menjawab.

Aku mundur dari cermin, mencoba lari dari pandangan itu, tapi bayanganku terus mengejarku. Ini bukan tentang apa yang kulihat, tapi tentang apa yang kurasakan. Mungkin selama ini aku telah salah paham tentang siapa diriku.

Senja telah berganti malam, dan hanya ada kesunyian yang menemani. Aku duduk di kursi tua, memandang ke arah langit yang kini telah dipenuhi bintang.

Dulu, bintang-bintang itu tampak begitu kecil dan tak berarti, tapi kini mereka seolah mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang lebih besar di luar sana, sesuatu yang tidak bisa kukendalikan.

Aku mengambil napas dalam-dalam, merasakan dingin angin malam yang menusuk tulang. Mungkin selama ini aku terlalu keras pada diriku sendiri, terlalu terobsesi untuk mengendalikan segala sesuatu.

Tapi apakah benar aku harus mengendalikan semuanya? Atau mungkin yang perlu kulakukan adalah melepaskan semua itu?

Terkadang, memainkan peran sebagai Tuhan dalam kehidupan sendiri adalah cara untuk merasa aman, untuk merasa berkuasa atas sesuatu. Tapi pada akhirnya, kita hanya manusia biasa dengan segala keterbatasan kita.

Aku berdiri lagi, menghadap cermin yang kini tampak seperti sebuah jendela ke dalam jiwaku. Aku tersenyum kecil, tapi bukan senyum kemenangan, melainkan senyum penerimaan.

Aku tidak harus selalu menjadi Tuhan di hidupku sendiri. Terkadang yang perlu kulakukan hanyalah mengikuti alur, menikmati momen yang ada, dan menerima bahwa tidak semua hal bisa kukendalikan.

Ketika aku kembali menatap bayanganku di cermin, aku melihat wajah yang sama, tapi dengan mata yang berbeda. Mata yang menerima, bukan lagi mata yang penuh dengan kesombongan palsu. 

Mungkin inilah waktunya aku berhenti 'bermain Tuhan' dan mulai menjalani hidup dengan sepenuh hati, tanpa harus membuktikan apapun.

Malam semakin larut dan aku merasa beban yang selama ini kubawa perlahan menghilang. Esok adalah hari baru, dan aku siap menyambutnya tanpa perlu merasa menjadi Tuhan.
Lebih baru Lebih lama