Hari itu, hujan turun dengan derasnya, seakan-akan langit mencurahkan segala kesedihannya. Tapi dia, seperti biasanya, hanya tersenyum. Senyum itu selalu ada, meski dunia di sekitarnya terasa runtuh. Orang-orang di sekelilingnya memandangnya dengan aneh, seolah-olah senyum itu adalah sebuah kebohongan yang harus segera disingkap.
Sebenarnya tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di balik senyum itu. Senyum yang ia tampilkan hanyalah cangkang, perlindungan dari semua rasa sakit yang pernah ia rasakan.
Di dalam hatinya, ada luka yang menganga, sesuatu yang tak pernah bisa sembuh. Setiap tetes hujan yang jatuh mengingatkannya pada malam-malam panjang penuh air mata yang tak pernah ia biarkan orang lain lihat.
"Aku baik-baik saja," katanya pada dirinya sendiri setiap kali matanya mulai memanas. "Semua ini hanya sementara."
Dia ingat saat pertama kali senyum itu menjadi pelindungnya. Ketika segalanya mulai berantakan, ketika orang-orang yang ia cintai mulai meninggalkannya satu per satu, senyum itu menjadi satu-satunya hal yang membuatnya merasa masih hidup.
Ia tak ingin menunjukkan kelemahannya. Dunia ini terlalu kejam untuk melihat seseorang yang hancur berkeping-keping.
Namun, lama kelamaan senyum itu mulai menjadi kebiasaan. Setiap pagi ketika ia bangun, ia akan memasang senyum itu di wajahnya sebelum ia keluar dari kamar. Senyum itu menjadi bagian dari rutinitasnya, seperti sarapan atau mengenakan pakaian.
Tapi semakin ia mencoba tersenyum, semakin terasa kosong di dalam dirinya. Senyum itu bukan lagi ungkapan kebahagiaan, melainkan topeng yang semakin hari semakin berat untuk dikenakan.
Orang-orang di sekelilingnya melihat senyum itu dan mengira ia adalah orang yang kuat, seseorang yang tidak bisa dihancurkan oleh apapun. Mereka menganggap bahwa senyum itu adalah cerminan dari jiwanya yang tenang.
Tapi tidak ada yang tahu bahwa setiap kali ia tersenyum, ia merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Setiap kali ia tersenyum, ia merasa semakin terjebak dalam kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Suatu hari, dia berdiri di depan cermin. Dia melihat bayangannya sendiri, menatap mata yang tampak letih meskipun bibirnya masih melengkung dalam senyuman.
Dia bertanya-tanya, sampai kapan ia harus terus berpura-pura? Sampai kapan ia harus menahan semua rasa sakit ini sendirian? Mungkin, sudah waktunya untuk melepaskan semua ini. Mungkin, sudah waktunya untuk jujur pada dirinya sendiri.
Ketika ia mencoba untuk menangis, air mata itu tak pernah datang. Senyum itu telah menahannya terlalu lama. Ia sudah terbiasa untuk tidak merasakan apa-apa lagi. Semua emosi yang pernah ia rasakan telah tersimpan jauh di dalam dirinya, terkubur di bawah lapisan senyuman palsu yang ia kenakan setiap hari.
Hingga suatu hari, ada seseorang yang menatapnya dengan cara yang berbeda. Seseorang yang melihat lebih dari sekedar senyum di wajahnya. Seseorang yang menyadari bahwa di balik senyum itu, ada kesedihan yang tak terucapkan.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia tidak perlu berpura-pura lagi.
Orang itu tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada kata-kata penuh simpati atau usaha untuk membuatnya merasa lebih baik. Hanya sebuah senyum yang lembut, bukan senyum penuh kepura-puraan seperti yang biasa ia lakukan. Senyum itu membuatnya merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah beban yang ia pikul selama ini bisa mulai ia lepaskan.
Malam itu, ketika dia berdiri di bawah hujan, dia tidak lagi merasa perlu untuk tersenyum. Dia membiarkan hujan itu membasahi dirinya, membasuh semua kepalsuan yang telah ia kenakan selama ini. Dia membiarkan dirinya merasakan kesedihan itu sepenuhnya. Dia menangis, dan kali ini tidak ada senyum yang menutupi rasa sakit itu.
Karena terkadang senyum bukanlah jawabannya. Terkadang yang kita butuhkan hanyalah menerima bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Tidak apa-apa untuk berhenti tersenyum.