Lolongan Dendam di Tepi Danau

 

Lolongan Dendam di Tepi Danau

Permukaan Situ Rawa Mentul memantulkan cahaya bulan purnama dengan sempurna, menciptakan hamparan perak yang tenang. Angin malam berbisik lembut di pepohonan yang menjulang tinggi di tepian danau, dedaunannya berdesir seperti gumaman rahasia.

 

Namun, ketenangan malam itu terusik oleh kehadiran seorang wanita berambut putih. Rambutnya yang tergerai itu seputih salju, senada dengan gaun putih panjang yang membalut tubuhnya. Matanya yang cokelat tua menatap ke permukaan danau dengan kesedihan yang tak terkira.

 

Air mata mengalir membasahi pipinya yang pucat, meninggalkan jejak seperti sungai perak di bawah sinar bulan. Dia berlutut di tepi danau, gaunnya yang basah kuyup menempel di kakinya. Sesekali dia memanggil nama dalam bisikan putus asa, "Bayu... Bayu..." gema suaranya menghilang ditelan angin malam.

 

Tiba-tiba, sepasang mata merah menyala muncul dari balik pepohonan. Dua ekor serigala hitam besar, sebesar sapi jantan, melangkah angkuh ke arah wanita itu. Bulu mereka yang hitam legam berkilauan di bawah cahaya bulan, dan taring tajam mereka terlihat jelas saat mereka menggeram rendah.

 

Wanita berambut putih itu tidak menoleh, seolah tak menyadari kehadiran para serigala. Dia terus menangis, kesedihannya yang mendalam seakan menarik para serigala mendekat. Mereka berhenti beberapa langkah darinya, mata merah mereka menatapnya dengan intensitas yang meresahkan.

 

Wanita itu mengangkat kepalanya perlahan, air matanya masih mengalir deras. Ketika matanya bertemu dengan mata merah para serigala, air matanya berhenti mengalir. Sebaliknya, tatapannya menjadi tajam dan penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan.

 

"Bawa aku padanya," kata wanita itu dengan suara yang serak dan penuh emosi. Suaranya, meskipun pelan, memiliki kekuatan yang tak terbantahkan. Kedua serigala itu saling pandang sejenak, lalu salah satu dari mereka menundukkan kepalanya sebagai tanda setuju.

 

Serigala itu mendekat ke arah wanita itu, dan dengan gerakan lembut yang tak terduga dari makhluk sebesar itu, ia menundukkan kepalanya. Wanita berambut putih itu bangkit dan dengan gerakan cekatan, dia melompat ke punggung serigala itu. Serigala yang lain meraung sekali, seolah memberi aba-aba, lalu keduanya berlari kencang ke dalam hutan yang gelap.

 

Bulan purnama menyinari jejak kaki mereka yang memudar di tanah berlumpur. Angin malam semakin kencang, membawa serta gema tangisan wanita itu yang perlahan menghilang.

 

Pagi harinya, ketenangan Situ Rawa Mentul kembali pulih. Sinar matahari pagi yang hangat menerpa permukaan danau, mengusir hawa dingin malam. Namun, jejak kesedihan masih terasa di udara.

 

Seorang warga desa yang sedang memancing di tepi danau melihat gaun putih basah tergeletak di bawah pohon. Gaun itu terlihat lusuh dan robek, seolah-olah pemiliknya telah melalu peristiwa yang mengerikan.

 

Berita penemuan gaun itu menyebar dengan cepat ke seluruh desa. Penduduk desa mengenal gaun itu sebagai milik Karina, seorang wanita yang baru saja kehilangan suaminya, Bayu, dalam kecelakaan perahu di danau beberapa hari sebelumnya.

 

Tim SAR telah menyisir danau selama berhari-hari untuk mencari jasad Bayu, namun tidak membuahkan hasil. Hilangnya gaun Karina semakin menambah misteri hilangnya Bayu. Apakah Karina yang berduka nestapa nekat mengakhiri hidupnya di danau? Atau ada sesuatu yang lebih menyeramkan yang terjadi pada malam yang sunyi itu?

 

Beberapa hari kemudian, berita mengerikan lainnya datang dari desa tetangga. Dua ekor serigala hitam besar telah meneror penduduk desa. Serigala-serigala itu menyerang ternak dan berperilaku agresif. Tak seorang pun berani mendekati mereka.

 

Penduduk desa mulai berbisik-bisik tentang legenda kuno yang bercerita tentang roh gentayangan yang bisa merasuki hewan liar untuk membalas dendam. Bisikan itu pun sampai ke telinga warga desa Situ Rawa Mentul. Mereka mulai curiga dengan hilangnya Karina dan mengaitkannya dengan legenda tersebut.

 

Malam harinya, penduduk desa berkumpul di tepi danau, melakukan ritual untuk keselamatan desa mereka. Mereka berharap agar roh gentayangan itu bisa ditenangkan. Ketika api unggun mereka mulai meredup, tiba-tiba terdengar suara lolongan serigala yang mengerikan memecah keheningan malam.

 

Lolongan itu berasal dari dalam hutan, dan semakin lama semakin dekat. Penduduk desa bergidik ketakutan. Mereka saling berpelukan, berlindung dalam cahaya remang-remang api unggun. Lolongan itu berhenti tepat di tepi hutan, diikuti oleh munculnya dua sosok serigala hitam besar dengan mata merah menyala. Para penduduk desa menjerit histeris.

 

Di punggung salah satu serigala, terlihat sosok wanita berambut putih. Karina. Rambutnya yang dulu terawat rapi kini kusut masai, wajahnya pucat pasi, dan matanya yang dulu cokelat hangat kini kosong dan dingin. Gaun putihnya yang dulu elegan kini compang-camping, berlumuran lumpur dan noda darah.

 

Sosok Karina yang dulu anggun dan lembut kini terlihat menyeramkan dan penuh dengan aura kematian. Dia melompat turun dari punggung serigala dan berjalan ke arah kerumunan warga desa dengan langkah gontai.

 

"Bayu..." bisiknya, suaranya parau dan dingin. "Di mana Bayu?"

 

Para penduduk desa gempar. Tak ada yang berani menjawab. Mereka mundur perlahan, terdorong oleh rasa takut yang mencekam.

 

Melihat reaksi ketakutan warga desa, kemarahan terpancar di mata Karina yang kosong. "Kalian tahu di mana dia!" teriaknya, suaranya bergema di malam yang sunyi. "Kalian telah mengambilnya dariku!"

 

Para tetua desa saling pandang, kebingungan dan ketakutan tergambar jelas di wajah mereka. Akhirnya, seorang tetua desa memberanikan diri untuk berbicara.

 

"Karina," suaranya bergetar, "suamimu, Bayu... dia kecelakaan. Perahu yang ditumpanginya terbalik..."

 

Karina memotong ucapannya, "Bohong!" Suaranya menggelegar. "Aku melihatnya. Aku melihat perahu itu sengaja ditenggelamkan!"

 

Para penduduk desa semakin tercengang. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksud Karina.

 

Tiba-tiba, lolongan serigala memecah kesunyian lagi. Serigala yang lain, yang selama ini diam, melangkah ke depan dan berdiri di samping Karina. Matanya yang merah menatap tajam ke kerumunan warga desa.

 

"Mereka takut padaku sekarang," bisik Karina, suaranya dingin dan penuh dendam. "Tapi mereka tidak takut padamu, Bayu. Mereka tidak berusaha menyelamatkanmu."

 

Para penduduk desa terpaku. Mereka tidak tahu bagaimana harus menanggapi tuduhan Karina. Mereka memang tidak melihat kecelakaan itu terjadi, namun menuduh mereka dengan hal yang serius tanpa bukti membuat mereka gamang.

 

Karina terdiam sejenak, matanya kosong menatap ke kejauhan. "Bawa aku padanya," bisiknya lagi, kali ini suaranya lirih dan penuh kesedihan. "Bawa aku ke tempat kalian menyembunyikannya."

 

Para tetua desa saling berbisik, kebingungan melanda mereka. Mereka tidak tahu apa yang disembunyikan Karina, namun tatapan penuh amarah dan kesedihan di mata wanita itu membuat mereka tidak berani menolak.

 

Dengan berat hati, mereka pun membawa Karina ke sebuah gubuk tua yang terbengkalai di pinggir danau. Konon, gubuk itu dulunya digunakan oleh perampok untuk menyimpan hasil curian mereka.

 

Sesampainya di gubuk, Karina langsung menerobos masuk, diikuti oleh kedua serigala hitam. Pintu gubuk itu berderit terbuka, dan para penduduk desa mengintip dari balik jendela yang retak.

 

Di dalam gubuk yang remang-remang, Karina melihat peti mati tua yang terbuat dari kayu jati. Dengan gerakan cepat, dia mendekati peti mati itu dan membukanya.

 

Para penduduk desa tersentak melihat isi peti mati itu. Di dalamnya terbaring jasad Bayu, suaminya. Namun, wajah Bayu terlihat pucat pasi, dan di lehernya terdapat bekas cekikan yang jelas.

 

Karina berlutut di samping peti mati, air mata kembali mengalir di pipinya. Kali ini, air matanya bercampur dengan amarah dan kesedihan yang tak terkira.

 

"Bayu..." bisiknya, suaranya parau dan penuh duka. "Mereka telah membunuhmu."

 

Kedua serigala hitam itu menggeram rendah, seolah-olah membenarkan perkataan Karina.

 

Karina memeluk jasad Bayu dengan erat. Tangisannya semakin histeris. Para penduduk desa yang melihat pemandangan itu merinding ketakutan.

 

Tiba-tiba, terjadi perubahan yang mengerikan pada tubuh Karina. Rambut putihnya memanjang dengan cepat, membungkus peti mati dan jasad Bayu di dalamnya. Rambut itu bergerak-gerak seperti ular, seolah-olah memiliki kehidupan sendiri.

 

Para penduduk desa menjerit histeris. Mereka berlari terbirit-birit meninggalkan gubuk itu, dikejar lolongan serigala yang menggema memecah malam. Kabar tentang kembalinya Karina yang menyeramkan dan kemarahannya yang tak terbendung menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru desa.

 

Situ Rawa Mentul yang tadinya tenang kini menjadi tempat yang dijauhi. Gubuk tua di pinggir danau menjadi monumen mengerikan, dipenuhi rambut putih yang menjuntai dari jendela dan celah pintu.

 

Malam-malam berikutnya, lolongan serigala terus terdengar. Tak ada yang berani mendekati danau. Penduduk desa yang dituduh membunuh Bayu menghilang satu per satu. Tubuh mereka ditemukan di hutan, terkoyak dan berlumuran darah, jejak yang tak terbantahkan dari pembalasan Karina dan para serigala pendampingnya.

 

Legenda roh gentayangan yang merasuki hewan liar untuk membalas dendam kini menjadi nyata. Situ Rawa Mentul berubah menjadi tempat angker, menjadi pengingat bagi siapapun yang berani berbuat jahat, bahwa keadilan meskipun terlambat akan selalu datang, bahkan dari tempat yang tak terduga.

Lebih baru Lebih lama