Berputar Bersama Takdir

Berputar Bersama Takdir

Kamu tahu, hidup ini kadang terasa seperti tarian di tengah bintang-bintang. Kita berputar, terseret ke sana ke mari oleh takdir, tanpa tahu kapan kita akan berhenti. 

Sama seperti aku dan dia malam itu. Langkahnya begitu ringan, hampir seperti dia sedang melayang, bukan berdiri di atas tanah. Gaunnya berkibar lembut, penuh warna seperti aurora, sementara aku hanya bisa mengikuti, mencoba tak tersesat dalam pusaran gerakannya.

"Apa kamu pernah merasa seperti ini sebelumnya?", suaranya lembut seperti angin yang berbisik. 

Aku menggeleng, meski tahu dia tidak akan melihat. Di sini, di antara bintang-bintang, tidak ada ruang untuk kebohongan atau basa-basi. 

“Tidak pernah,” jawabku.

Akhirnya aku bisa melihat senyumnya—halus, hampir tak terlihat, namun terasa seolah-olah menggema dalam setiap atom di sekitarku.

"Kita seperti dua bintang yang tersesat, ya. Berputar dan berputar tanpa arah," katanya lagi. Kali ini sambil memejamkan mata, menikmati setiap detik yang berlalu.

Aku diam. Ada bagian dari diriku yang ingin menjawab, tapi bagaimana bisa? Tarian ini lebih dari sekadar gerakan fisik. Rasanya seolah-olah kita sedang menembus waktu, berada di dimensi di mana segala sesuatu menjadi mungkin. 

Di sekeliling kami, langit dipenuhi cahaya, bukan dari lampu, tapi dari sesuatu yang lebih murni—seperti kilauan mimpi yang tak pernah terwujud.

“Bukan tanpa arah. Tapi... tanpa batas,” kataku mencoba merangkai kata yang tepat. 

Dia membuka matanya, menatapku sejenak. Matanya berkilau seperti pantulan cahaya di permukaan air, penuh dengan misteri dan janji. 

"Tanpa batas, ya? Mungkin. Tapi apa artinya batas kalau kita terus bergerak?”

Aku tidak punya jawaban. Bagaimana bisa? Setiap pertanyaan yang dia ajukan rasanya lebih seperti jawaban atas sesuatu yang tak pernah kutanyakan, tapi selalu kurasakan. 

Kami terus berputar, tanpa memedulikan waktu atau gravitasi yang mungkin mencoba menarik kami kembali ke bumi.

“Kamu takut?” tanyanya, tiba-tiba menghentikan gerakan. 

Aku menatap matanya, seolah mencari jawaban yang tersembunyi di dalamnya. Tapi tidak ada ketakutan di sana. Tidak ada keraguan. Hanya kehangatan. Dan aku menyadari, bukan dia yang takut, tapi aku. 

“Sedikit, karena aku tahu, suatu saat kita harus berhenti,” jawabku. 

Dia menggeleng pelan. "Kita tidak perlu berhenti. Kita bisa terus menari, selamanya." 

Aku ingin percaya. Tapi aku tahu dunia tidak seperti itu. Selalu ada akhir. Selalu ada batas, sekeras apa pun kita berusaha menyangkalnya. 

“Tidak mungkin selamanya,” kataku dengan suara pelan, hampir seperti berbisik kepada diriku sendiri.

Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, dan aku bisa merasakan kehangatannya menembus setiap serat di tubuhku. 

"Siapa yang bilang tentang selamanya? Yang penting adalah sekarang. Dan sekarang ini, kita menari."

Aku terdiam. Dalam momen itu, aku sadar. Mungkin bukan tentang seberapa lama tarian ini akan berlangsung, atau ke mana langkah kami akan membawa. Tapi tentang bagaimana kita menikmati setiap putaran, setiap detik, setiap hembusan napas di antara bintang-bintang.

"Kamu benar," kataku, akhirnya membiarkan diriku tersenyum juga. "Kita menari."

Dan kami pun terus berputar. Terus menari. Di tengah bintang-bintang, di antara mimpi dan kenyataan, tanpa memedulikan kapan tarian ini akan berakhir. Karena, untuk saat ini, hanya inilah yang penting.

Lebih baru Lebih lama