Aku tahu dia tidak akan setuju, tapi tetap kupacu mobil tua ini ke arah jalan raya. Suara mesin yang berisik dan angin yang kencang dari atap terbuka tidak bisa menenggelamkan suara tawa kerasnya.
Dina duduk di sebelahku, rambutnya beterbangan, menengadah ke langit sambil tertawa.
"Lihat! Bintang-bintang itu, Ri! Mereka juga ikut tertawa!" teriaknya sambil menunjuk langit yang gelap, seolah-olah ada sesuatu di sana yang hanya dia yang bisa lihat.
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Mungkin inilah satu-satunya waktu Dina bisa merasa bebas. Bebas dari semua hal yang membuatnya merasa terjebak.
"Jangan bawa aku pulang, please..." pintanya sambil menarik napas panjang, lalu membuangnya dengan berat.
Aku menoleh sekilas, dia masih menatap bintang-bintang, seakan berharap bisa lari ke tempat lain. Jauh dari rumah, jauh dari semua beban yang selama ini menghantamnya.
Tiga jam berlalu sejak kami meninggalkan kota. Jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa mobil yang melintas dari arah sebaliknya. Kami sudah jauh dari rumah, dari segala tuntutan, dan dari semua orang yang berpikir mereka tahu apa yang terbaik untuk Dina.
"Mereka selalu bilang aku harus jadi ini, jadi itu. Padahal, aku cuma pengen jadi aku, Ri. Apa itu salah?” gumamnya tiba-tiba.
Aku menggeleng pelan, tapi tak menjawab. Jawaban semacam itu tidak akan cukup baginya. Aku tahu betul, di matanya, dunia ini terlalu sempit untuk kebebasannya.
Dina bukan tipe orang yang mau dibatasi. Dia suka berlari, teriak tanpa takut, hidup tanpa arah. Aku cuma bisa mendampinginya.
Lampu-lampu jalan raya berkelebat cepat, seperti kilatan kilat yang terputus-putus.
“Kenapa ya, Ri, hidup ini nggak kayak di film? Yang semuanya kelihatan indah dan sempurna?” katanya tiba-tiba, nadanya lebih lembut dari sebelumnya.
"Mungkin... karena kita bukan pemeran utama," jawabku asal-asalan.
Dina tertawa kecil. "Ya, mungkin."
Mobil melambat di salah satu persimpangan. Kami berhenti sebentar, hanya untuk melihat ke arah mana kami akan pergi selanjutnya.
Dina diam, hanya memainkan rambutnya yang berantakan. Sementara aku menatap peta digital yang tidak banyak membantu.
“Mungkin aku nggak usah pulang ya?” kata Dina tiba-tiba, nyaris berbisik.
Aku menatapnya. Wajahnya tampak tenang, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.
"Mereka akan mencarimu," jawabku sambil menghela napas.
Dina tertawa pahit. "Ya, tapi mereka nggak akan peduli aku sebenarnya pengen apa."
Angin malam mulai terasa menusuk kulit, tetapi kami tetap di sana, di tengah jalan yang sepi, tanpa tahu harus ke mana. Dina menarik napas panjang, matanya masih terpaku ke langit.
"Mungkin... kita semua terjebak di sini, Ri. Di dunia yang nggak pernah benar-benar mengerti kita."
Aku menelan ludah. Kalimat itu terdengar begitu berat, meski diucapkan dengan nada santai.
"Ayo, kita pergi ke tempat lain. Tempat di mana kita bisa jadi diri sendiri," Dina berkata tiba-tiba, seolah itu solusi paling sederhana di dunia.
Aku menatapnya, mencoba mencari tahu apakah dia serius. Dan dari sorot matanya, aku tahu dia memang serius. Sangat serius.
Tapi ke mana? Aku pun nggak tahu jawabannya. Tapi satu hal yang pasti, selama ada Dina di sebelahku, aku siap membawa mobil ini ke mana pun dia mau. Meski aku tahu, suatu saat nanti, kami harus kembali. Setidaknya, malam ini adalah milik kami.
Tanpa tujuan, tanpa batas, hanya bintang-bintang dan jalan raya yang menemani. Dan untuk saat ini, itu lebih dari cukup.