Cinta Itu Sifatnya Dua Arah

ibu dan putrinya

Hujan deras mengguyur pekarangan rumah yang dipenuhi dedaunan basah. Di balik jendela dapur yang berembun, seorang wanita paruh baya berdiri dengan segelas teh hangat di tangannya. Tatapan matanya jatuh pada putrinya, Nisa, yang duduk di meja makan dengan wajah penuh kebimbangan.

“Bu, kenapa ya, aku merasa dia tidak pernah benar-benar melihat aku? Aku sudah melakukan banyak hal untuk dia. Aku berusaha ada, mendukung dia, bahkan mengesampingkan diriku sendiri. Tapi dia tetap... dingin” suara Nisa pelan namun terdengar jelas di antara suara hujan.

Ibu Nisa menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir tehnya di meja. Ia menatap wajah putrinya yang tampak lelah, bukan karena fisik, tapi karena luka yang tak terlihat.

“Nak, kadang kita terlalu sibuk memberi sampai lupa bertanya apa yang kita terima? Cinta itu sifatnya dua arah. Kalau kamu terus memberi, tapi dia tidak pernah memberikan balasan yang setara, itu bukan cinta yang sehat. Itu pengorbanan sepihak.”

Nisa mengerutkan kening, mencoba memahami maksud ibunya. “Tapi, Bu, aku mencintai dia. Bukankah cinta itu seharusnya tanpa syarat?”

“Betul, cinta sejati itu tanpa syarat,” jawab sang ibu lembut.

“Tapi cinta juga harus saling menguatkan. Kalau kamu terus-menerus mencintai tanpa mendapatkan penghargaan atau kasih sayang kembali, kamu hanya menyakiti dirimu sendiri.”

Nisa terdiam. Tangannya memainkan ujung kain taplak meja, mencoba mencari jawaban di balik kata-kata ibunya.

“Ibu dulu pernah seperti kamu,” lanjutnya, dengan suara yang mengandung kegetiran masa lalu.

“Mencintai seseorang yang tidak pernah benar-benar mencintai Ibu. Waktu itu Ibu berpikir, mungkin kalau Ibu berusaha lebih keras, dia akan berubah. Tapi ternyata tidak, Nak. Cinta tidak bisa dipaksa.”

“Lalu apa yang Ibu lakukan?” tanya Nisa, kali ini matanya menatap ibunya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ibu belajar melepaskan. Awalnya sulit. Rasanya seperti kehilangan bagian dari diri sendiri. Tapi setelah itu, Ibu sadar, lebih baik kehilangan orang yang tidak mencintai kita daripada kehilangan diri kita sendiri,” jawab sang ibu sambil tersenyum tipis.

Nisa menggigit bibir bawahnya. Ia tahu ibunya benar, tapi hati kecilnya masih enggan menerima kenyataan itu.

“Bu, bagaimana caranya tahu kalau dia benar-benar mencintai kita?”

Sang ibu meraih tangan Nisa dan menggenggamnya erat.

“Orang yang mencintaimu akan membuatmu merasa cukup. Dia tidak akan membuatmu bertanya-tanya tentang posisi kamu di hidupnya. Dia akan menghargai usahamu, mendukungmu, dan memastikan kamu tahu bahwa kamu berarti untuk dia. Kalau kamu merasa harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan perhatiannya, mungkin kamu harus bertanya: apakah dia benar-benar layak untuk cintamu?”

Kata-kata itu menghantam Nisa seperti gelombang besar. Ia membayangkan semua momen di mana ia berusaha keras untuk membuat pria itu bahagia, sementara dirinya dibiarkan tenggelam dalam keraguan dan rasa sepi. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.

“Tapi, Bu, aku takut sendirian.”

Sang ibu tersenyum hangat. “Sendirian bukan berarti kesepian, Nak. Kadang, sendirian adalah cara terbaik untuk menemukan dirimu sendiri lagi. Dan ketika kamu sudah menemukan dirimu, kamu akan tahu siapa yang pantas berada di sisimu.”

Hujan di luar mulai mereda, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan. Nisa merasa seperti mendengar suara hatinya yang selama ini terpendam. Ia menatap ibunya, yang kini terlihat lebih kuat dari sebelumnya.

“Terima kasih, Bu. Aku akan mencoba belajar melepaskan,” katanya sambil memeluk ibunya erat.

“Ibu tahu kamu bisa, Nak,” balas ibunya dengan suara penuh keyakinan. “Dan ingat, cinta yang sejati tidak akan pernah membuatmu merasa dirimu tidak cukup.”

Di luar, matahari mulai muncul dari balik awan, memberikan harapan baru. Seperti hati Nisa yang mulai merasa ringan, siap untuk melangkah menuju hari yang lebih baik.

Lebih baru Lebih lama