Langit malam itu penuh bintang, tapi aku tetap merasa kosong. Hening, dingin, dan entah kenapa seperti ada sesuatu yang menghilang dari dadaku.
Aku berdiri di
tengah lapangan terbuka, jauh dari lampu-lampu kota yang biasanya membuat
semuanya terlalu terang. Angin mengusap wajahku lembut, tapi itu tidak cukup
untuk menghapus rasa sesak yang tidak tahu kenapa datang begitu saja.
Kepalaku
mendongak ke atas, mataku tertuju pada gemintang yang bertebaran, seperti
serpihan-serpihan harapan yang berhamburan di lautan gelap. Rasanya aneh.
Aku sudah lama
tidak bicara dengan Tuhan. Bahkan aku tidak yakin apakah Dia masih
mendengarkanku atau aku yang sebenarnya terlalu takut buat memulai percakapan
lagi.
Tapi malam
itu, aku tidak punya pilihan lain.
“Kalau memang Kau ada, tolong beri aku jawaban...” suaraku pelan, hampir tidak terdengar di antara desir angin.
Aku tidak tahu lagi bagaimana cara meminta. Hatiku penuh,
tapi kosong. Penuh kebingungan, penuh amarah yang tidak tahu ditujukan ke
siapa, dan penuh rindu pada sesuatu yang bahkan aku tidak tahu wujudnya.
Aku menutup
mata, berharap ada tanda, meski sekecil apa pun. Tapi yang ada hanya
keheningan. Tetap. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku menggigit bibir,
mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Tapi tidak bisa.
“Tuhan...” aku
menarik napas panjang, suara itu keluar seperti bisikan, tapi aku tahu itu
berasal dari bagian terdalam diriku.
“Aku tidak
tahu harus gimana lagi. Aku capek. Aku sudah coba segalanya, tapi semua tetap
hancur. Aku... aku cuma mau Kau dengar. Itu aja.”
Mataku kembali
terbuka, menatap langit yang sekarang terasa semakin jauh. Aku tahu, aku tidak
spesial. Aku cuma satu dari miliaran manusia yang mungkin malam ini juga sedang
berteriak ke langit, meminta jawaban, meminta harapan. Tapi aku tetap tidak
bisa berhenti berharap. Mungkin itu bodoh, tapi harapan itu satu-satunya yang
bikin aku bertahan sejauh ini.
Aku ingat
semua yang hilang, orang-orang yang pernah berarti, mimpi-mimpi yang pernah
kubangun dengan tangan gemetar, dan rasa damai yang entah sejak kapan
menghilang dari hidupku.
Angin makin
kencang, membuat rambutku berantakan. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya menatap
langit dengan pandangan yang samar-samar mulai buram oleh air mata.
“Aku tahu
mungkin aku tidak pantas...” suaraku bergetar, tapi aku tetap melanjutkan.
“Tapi kalau
Kau masih ada di sana, tolong... jawab aku. Apa aku ini salah? Apa aku cuma
buang-buang waktu berharap semuanya akan lebih baik?”
Langit tetap
diam. Bintang-bintang tetap berkilauan, tapi mereka tidak memberiku jawaban
apa-apa. Tapi aku tidak berhenti. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak mau
berhenti. Mungkin aku hanya ingin seseorang, siapa pun, mendengar.
Di tengah semua itu, aku ingat sesuatu yang pernah kudengar dari almarhumah nenekku dulu. Dia bilang, Tuhan tidak selalu menjawab dengan suara. Kadang jawabannya ada di angin, di gemerisik daun, atau bahkan di keheningan yang menyakitkan.
Waktu itu
aku cuma mengangguk, tidak benar-benar mengerti apa maksudnya. Tapi sekarang,
aku rasa aku mulai paham.
Mungkin
jawaban itu tidak selalu datang seperti yang kita harapkan. Mungkin Dia hanya
ingin kita tahu kalau Dia mendengar, bahkan kalau itu berarti kita harus
menunggu lebih lama untuk benar-benar merasakannya.
Aku menutup
mata lagi, kali ini mencoba untuk tidak terlalu berharap. Tapi di detik itu,
sesuatu berubah. Angin yang tadinya dingin kini terasa hangat, seperti pelukan
yang samar-samar membungkusku. Bulu kudukku meremang, tapi bukan karena takut.
Ada sesuatu yang anehnya... membuatku merasa lebih ringan.
Aku membuka
mata perlahan, dan entah kenapa bintang-bintang di atas sana terasa lebih
terang. Hatiku masih berat, masih ada banyak hal yang tidak terselesaikan. Tapi
malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa... tidak
sendirian.
Jadi aku
mengangkat kepala, sekali lagi memanggil nama-Nya ke langit.
“Tuhan, aku
akan terus menunggu. Tapi kalau Kau dengar ini, aku harap... suatu hari Kau
akan membalas.”