Tuhan Sedang Memamerkan Kemampuan-Nya Ketika DIA Menciptakan Dirimu

Tuhan Sedang Memamerkan Kemampuannya Ketika DIA Menciptakan Dirimu 

Hari itu, langit sore terlihat seperti lukisan yang belum selesai. Aku duduk di bangku taman, menggenggam secangkir kopi dingin yang sudah kehilangan rasanya karena terlalu lama dibiarkan. Mataku terpaku pada satu titik: kamu.

 

Kamu berdiri di bawah pohon besar, berusaha melindungi sketsa di tanganmu dari angin nakal. Rambutmu berantakan tapi entah bagaimana terlihat sempurna, menari seiring angin yang berlalu. Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin Tuhan bisa menciptakan sesuatu yang begitu... unik?

 

Bukan soal wajahmu, meskipun aku tak memungkiri bahwa garis-garis itu sempurna dalam caranya sendiri. Tapi ada sesuatu yang lebih.

 

Mungkin caramu tertawa seperti sedang berbicara langsung dengan alam semesta, atau caramu membiarkan semut-semut kecil di rerumputan berlalu tanpa gangguan saat kamu duduk bersila untuk menggambar.

 

"Kamu lihat apa?" suaramu membuyarkan lamunanku. Kamu sudah berdiri di depanku, memiringkan kepala seperti kucing yang penasaran.

 

Aku mengangkat bahu, berusaha menyembunyikan kebodohan yang baru saja kulakukan. "Hanya memikirkan sesuatu."

 

"Seperti apa?" tanyamu lagi, matamu berkilau seperti ingin mengulitiku untuk mendapatkan jawaban.

 

Aku tertawa kecil, tapi getir. "Aku hanya berpikir... Tuhan pasti sedang ingin memamerkan kemampuannya ketika DIA menciptakanmu."

 

Ada jeda. Wajahmu berubah, antara bingung dan terkejut. "Kamu serius?"

 

"Serius." Aku menatap lurus ke matamu, memastikan kamu tahu bahwa ini bukan sekadar kata-kata manis untuk membuatmu tersipu.

 

Kamu duduk di sebelahku, tanpa berkata apa-apa untuk beberapa detik. Aku bisa merasakan jarak antara kami dipenuhi sesuatu yang lebih besar daripada sekadar udara.

 

"Kamu tahu, aku tidak pernah merasa seperti sesuatu yang istimewa," katamu akhirnya.

 

Aku mendongak, terkejut dengan pernyataan itu. "Kamu bercanda, kan?"

 

Kamu menggeleng. "Serius. Aku sering berpikir kalau aku cuma... kebetulan. Tidak ada yang benar-benar spesial."

 

Suaraku hampir pecah saat aku membalas, "Tapi aku melihatmu. Aku melihat caramu memperlakukan orang, caramu mencintai seni, bahkan caramu berbicara dengan kucing liar di jalan. Itu... luar biasa."

 

Kamu menunduk, menatap tanganmu yang saling menggenggam. "Terkadang aku berharap bisa melihat diriku seperti orang lain melihatku."

 

Aku ingin menjawab, ingin meyakinkanmu, tapi entah kenapa kata-kata terasa sia-sia. Jadi aku hanya menarik napas panjang dan menatapmu.

 

"Mungkin kamu tidak harus melihat dirimu seperti orang lain. Mungkin cukup dengan percaya bahwa Tuhan punya alasan untuk menciptakanmu seperti ini."

 

Kamu tersenyum kecil, senyum yang tidak penuh tapi cukup untuk membuat hatiku sedikit lega. "Kamu aneh."

 

Aku tertawa. "Kamu baru sadar sekarang?"

 

Sore itu, tidak ada yang berubah di dunia luar. Langit tetap perlahan gelap, lampu taman mulai menyala satu per satu, dan suara burung-burung semakin jarang terdengar.

 

Tapi di antara kami, ada sesuatu yang berbeda. Seperti sebuah percikan kecil yang mengingatkan bahwa hidup tidak pernah sesederhana kelihatannya.

 

Ketika aku mengantar kamu pulang, aku masih memikirkan percakapan tadi. Aku tidak tahu apakah aku berhasil membuatmu melihat dirimu dari sudut pandang yang lebih baik, tapi aku tahu satu hal: kamu adalah karya seni Tuhan yang tidak pernah gagal membuatku terkagum.

 

Malam itu, saat aku sendiri di kamar, aku menatap langit-langit dan mengucap terima kasih dalam hati. Mungkin, seperti yang kamu katakan, aku aneh.

 

Tapi aku bersyukur karena keanehan itu memberiku keberanian untuk melihat dunia dan kamu dengan cara yang berbeda.

 

Karena kalau ada satu hal yang aku yakini, itu adalah fakta bahwa Tuhan pasti sedang memamerkan kemampuannya ketika DIA menciptakan dirimu.

Lebih baru Lebih lama