Ada yang
berubah di cara pandangku terhadap senja sejak bertemu Arwen. Sebelum
mengenalnya, senja hanyalah peralihan waktu, transisi yang kerap kulewatkan
tanpa banyak arti.
Tapi sejak dia
hadir, warna jingga di langit membawa narasi berbeda. Entah mengapa, tiap
semburatnya terasa seperti sebuah lagu yang diciptakan untuk menemaniku
menunggu. Menunggu apa? Menunggu keberanianku untuk menjadi Aragorn-nya.
Kami bertemu
di sebuah kelas kecil tentang sastra abad pertengahan. Tidak ada hal dramatis
seperti buku yang jatuh atau saling menatap di lorong. Pertemuan itu biasa
saja.
Dia memilih
kursi di sudut ruangan, aku di sisi lainnya. Tapi dari sudut pandangku, dia
tidak pernah biasa. Cara dia menulis dengan pena, seolah-olah mengetik di
laptop terlalu dangkal untuk sebuah ide.
Cara dia
memiringkan kepala ketika mendengar dosen berbicara tentang epos lama, seakan
dia menyaring kata demi kata, memutuskan mana yang layak disimpan dalam
memorinya.
Aku ingat
ketika pertama kali berani mengajaknya bicara. Itu bukan percakapan besar. Aku
hanya bertanya apakah dia juga membaca The Silmarillion di luar kelas.
Dia tersenyum
kecil, senyum yang lebih seperti kejutan bahwa aku tahu apa itu The
Silmarillion.
Aku tidak tahu
bagaimana harus merespons waktu itu. Rasanya seperti aku baru saja membuka
pintu ke dunia yang sama sekali asing, dunia yang begitu dalam dan rumit.
Tapi aku tahu
sejak saat itu, aku ingin terus mendengar bagaimana dia melihat dunia. Dan aku
ingin dia tahu bahwa aku, meski mungkin jauh dari Aragorn yang pantas,
ingin menjadi bagian dari dunianya.
Waktu
berjalan, kami semakin sering berbicara. Aku tahu dia mencintai The Lord of the
Rings, tapi tidak dari cara biasa. Dia tidak membicarakan pertempuran besar di Mordor atau keindahan Rivendell.
Dia
membicarakan rasa rindu Aragorn pada Arwen, bagaimana cinta mereka bukan
tentang pengorbanan besar semata, tapi juga tentang penantian kecil yang tidak
terlihat.
"Kamu
tahu, Aragorn tidak pernah benar-benar merasa cukup baik untuk Arwen. Tapi dia
tetap memilih untuk berjuang menjadi layak. Menurutmu, apa itu cinta?" katanya
suatu kali.
Aku tertawa
kecil, mencoba menyembunyikan degupan jantungku yang tiba-tiba terasa lebih
keras.
"Mungkin itu tentang keberanian. Berani menjadi lebih baik untuk seseorang, bahkan jika kamu tidak yakin hasilnya."
Jawaban yang kukira sederhana, tapi entah
kenapa membuat matanya berbinar seolah aku baru saja mengatakan sesuatu yang
berarti.
Sejak
percakapan itu, aku mulai memikirkan lebih jauh tentang apa yang aku rasakan.
Bukan hanya kekaguman pada kecerdasannya atau kekaguman pada keindahan cara dia
memandang dunia.
Lebih dari
itu, aku mulai merasa ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin menjadi
versi terbaik dari diriku.
Seperti
Aragorn, aku ingin menjadi raja meskipun aku merasa hanyalah seorang ranger. Aku ingin dia tahu, meskipun aku tidak bisa menjanjikan
keabadian seperti yang diberikan Valar pada Arwen, aku bisa menjanjikan
keberanian.
Malam itu, aku
memberanikan diri. Kami duduk di taman kampus, di bawah pohon besar yang
daunnya mulai menguning.
"Arwen," aku mulai, suaraku sedikit gemetar.
"Aku tahu ini mungkin terdengar bodoh,
tapi aku ingin menjadi Aragorn-mu. Aku tahu aku tidak sempurna, aku tahu aku
mungkin tidak layak. Tapi aku ingin mencoba."
Dia tidak
langsung menjawab. Dia hanya menatapku, lama sekali, dengan ekspresi yang sulit
kubaca. Aku mulai merasa takut, merasa mungkin aku telah menghancurkan sesuatu
yang indah dengan kejujuranku yang prematur.
Tapi kemudian
dia tersenyum, senyum yang paling lembut yang pernah kulihat darinya.
"Kamu tahu. Arwen tidak pernah meminta Aragorn untuk menjadi sempurna. Dia hanya ingin dia menjadi dirinya sendiri, sepenuh hati. Kalau kamu merasa harus menjadi Aragorn, aku ingin kamu tahu bahwa itu bukan karena aku menginginkannya. Tapi karena kamu ingin menjadi seseorang yang lebih baik untuk dirimu sendiri. Dan kalau itu termasuk aku di dalamnya, aku akan sangat berterima kasih," katanya pelan.
Rasanya
seperti dunia berhenti sejenak. Semua kegelisahanku, semua ketakutanku, lenyap
dalam sekejap. Di bawah langit malam yang mulai gelap, aku tahu, ini adalah
awal dari sesuatu yang luar biasa.
Aku mungkin
bukan Aragorn, tapi aku berjanji akan terus mencoba untuk menjadi pria yang
pantas berdiri di samping Arwen-ku.