
Dia selalu duduk di bangku paling belakang kafe itu, menyeruput kopi tubruk yang harganya tak sampai seperempat dari secangkir latte yang biasa dipesan wanita itu. Tapi Rizal tak peduli. Baginya, cukup bisa memandanginya dari kejauhan, sesekali mencuri senyum saat mata mereka tak sengaja bertemu, itu sudah lebih dari cukup.
Wanita itu bernama Clara. Rambutnya selalu tertata rapi, gaunnya sederhana tapi elegan, dan matanya seperti punya cerita sendiri yang tak pernah bisa Rizal baca.
Dia tahu, jarak antara mereka bukan cuma sekadar meja. Tapi kelas sosial, dunia yang berbeda, harapan yang mustahil.
Suatu sore, ketika hujan turun deras, Rizal melihat Clara berdiri di depan kafe, ragu-ragu. Tanpa pikir panjang, dia menyambar payung lusuhnya dan menghampiri.
"Payungnya jelek, tapi kalau mau boleh pinjam," ujarnya, mencoba terdengar santai meski jantungnya berdegup kencang.
Clara menatapnya, lalu tersenyum. Senyum yang membuat Rizal lupa bagaimana cara bernapas.
"Terima kasih," katanya lembut.
Mereka berjalan sebentar di bawah payung yang bocor di beberapa bagian. Clara bercerita tentang pekerjaannya, tentang buku yang baru dibacanya, tentang hidup yang kadang terasa begitu berat meski dari luar semua terlihat sempurna.
Rizal hanya mendengarkan, sesekali mengangguk, menahan diri untuk tidak mengatakan betapa dia ingin menjadi orang yang selalu ada untuknya. Tapi dia tahu. Dia bukan orang yang bisa memberinya dunia seperti yang dia miliki sekarang.
Hari-hari berikutnya, mereka mulai sering bertemu. Kadang Clara yang datang ke kafe, kadang Rizal yang sengaja lewat di depan kantornya hanya untuk melihatnya dari jauh. Tapi semakin dekat, semakin sakit. Karena Rizal tahu, ini hanya sementara. Suatu hari nanti, Clara akan pergi.
Dan itu benar-benar terjadi.
Suatu malam, Clara mengajaknya makan di restoran mewah. Rizal memakai kemeja terbaiknya, tapi tetap merasa seperti orang yang salah tempat.
"Aku akan menikah," ujar Clara tiba-tiba, matanya menghindar.
Rizal mengunyah perlahan, mencoba menelan makanan sekaligus rasa pahit di tenggorokannya.
"Orangnya baik?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
Clara mengangguk. "Dia... cocok."
Cocok. Kata itu seperti pisau. Cocok berarti dari dunia yang sama, dari kehidupan yang sejajar. Bukan seperti Rizal, yang bahkan harus menabung selama sebulan hanya untuk bisa mentraktirnya makan di tempat seperti ini.
"Selamat," bisiknya, memaksakan senyum.
Malam itu, saat mereka berpisah di depan apartemen Clara, Rizal tahu ini terakhir kalinya. Dia tak bisa lagi memandanginya, tak bisa lagi menahan rasa yang semakin dalam.
"Aku…" Clara mulai, tapi Rizal menggeleng.
"Jangan. Aku tahu."
Mata Clara berkaca-kaca, tapi dia tak mengatakan apa-apa lagi. Mungkin dia juga tahu, tak ada kata-kata yang bisa mengubah apa pun.
Rizal berbalik, berjalan perlahan. Hujan mulai turun lagi, tapi kali ini tak ada payung, tak ada Clara di sampingnya. Air yang mengalir di wajahnya mungkin hujan, mungkin juga sesuatu yang lain.
Dia tak pernah kembali ke kafe itu.
Beberapa bulan kemudian, Rizal melihat foto pernikahan Clara di koran. Dia tersenyum bahagia di samping seorang pria tampan dengan latar belakang yang sempurna. Rizal melipat koran itu, menyimpannya di laci meja kerjanya yang sederhana.
Kadang cinta bukan tentang memiliki. Kadang cuma tentang tahu kapan harus pergi.
Dan Rizal? Dia sudah belajar melupakan. Tapi di sudut hatinya yang paling sunyi, dia masih menyimpan secangkir kopi tubruk dan payung bocor yang pernah mereka bagi.
Hanya itu. Tak lebih. Karena cinta seperti mereka tak pernah dimaksudkan untuk sampai.