Kartu Hitam dan Bisikan Kegelapan

Kartu Hitam dan Bisikan Kegelapan

Langit di luar mulai menghitam. Di dalam ruangan kecil itu, Liliana duduk di atas karpet bulu tua, di tengah lingkaran lilin yang menyala temaram.

Tangannya yang halus dengan perlahan membalik kartu tarot satu per satu. Setiap kartu membawa simbol misterius yang tampaknya menggambarkan kisah yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami, namun terasa begitu personal.

Hari itu adalah malam ke-13 sejak ia menerima undangan aneh dari seseorang bernama Astarra. Undangan itu datang dalam amplop berwarna krem dengan tulisan tangan melingkar yang indah.

"Penasaran akan masa depanmu? Datanglah dan bawa dirimu sendiri," begitu bunyinya.

Awalnya Liliana hanya menganggap ini lelucon atau pemasaran untuk sekadar membaca tarot biasa. Tapi entah kenapa, hatinya terpanggil.

Di ruangan itu, Liliana merasa nyaman, tapi juga tidak sepenuhnya aman. Wangi dupa bercampur dengan aroma kayu tua yang terbakar samar-samar. Dindingnya penuh dengan rak yang dijejali tanaman merambat, botol-botol kecil berisi cairan berwarna, dan benda-benda antik yang sulit diidentifikasi.

"Kamu tahu, kan, bahwa tarot bukan sekadar permainan?" suara Astarra terdengar dari sudut ruangan.

Wanita itu mengenakan gaun panjang dengan aksesori batu giok menggantung di lehernya. Matanya tajam, seperti bisa melihat jauh ke dalam jiwa seseorang.

"Tentu saja," jawab Liliana sambil tersenyum tipis. Tapi sebenarnya, ia hanya mencoba menenangkan diri.

Astarra mendekat dan duduk di depannya. "Kalau begitu, mari kita mulai," katanya sambil menggeser mangkuk kecil berisi ramuan berwarna keemasan ke tengah lingkaran lilin.

"Taruh tanganmu di atas kartu. Pikirkan satu pertanyaan yang benar-benar ingin kamu ketahui jawabannya. Tapi hati-hati, jawabannya mungkin tidak selalu seperti yang kamu harapkan."

Liliana menurut. Dengan perlahan ia meletakkan tangannya di atas dek kartu tarot yang sudah terasa hangat. Dalam hati, ia bertanya "Apa yang sebenarnya terjadi pada suamiku?"

Suaminya hilang tanpa jejak sepuluh tahun lalu. Polisi menyerah, dan keluarga hanya bisa pasrah. Tapi Liliana tidak pernah berhenti mencari jawaban, meskipun usahanya selalu buntu.

Astarra mulai membalik kartu pertama. Kartu itu menunjukkan gambar seorang pria berdiri di tepi jurang, memegang lentera kecil yang nyalanya hampir padam.

"The Seeker. Dia mencari kebenaran yang tersembunyi, bahkan jika itu harus mengorbankan dirinya sendiri,” gumam Astarra.

Kartu kedua, "The Web." Gambarnya adalah seekor laba-laba besar yang duduk di tengah jaring berwarna merah darah. "Seseorang telah memerangkapnya. Siapa pun yang kamu cari, dia tidak hilang secara kebetulan."

Liliana mulai merasa jantungnya berdegup lebih kencang. "Apa maksudmu?"

Tanpa menjawab, Astarra membalik kartu ketiga. Kartu itu kosong, hanya hitam pekat. Tidak ada simbol, tidak ada gambar. Hanya kegelapan.

kartu hitam

Ruangan tiba-tiba menjadi sangat sunyi. Liliana merasa seperti terjebak dalam ruang hampa. Api lilin mulai bergoyang, seakan ditiup angin, meskipun jendela dan pintu semuanya tertutup rapat.

"Kartu ini..." Nona Astarra terlihat terkejut. "Aku belum pernah melihat kartu ini muncul sebelumnya."

"Apa artinya?" Liliana bertanya, suaranya bergetar.

Astarra menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Ini bukan hanya tentang suamimu. Kartu ini memperingatkan bahwa apa yang kamu cari akan membawamu pada sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang tidak bisa kamu hentikan."

Tiba-tiba, semua lilin padam bersamaan. Kegelapan menyelimuti ruangan. Liliana mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berat, seperti ditahan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Di sudut ruangan, suara berbisik mulai terdengar. Suara itu bukan suara manusia, melainkan campuran tawa dan tangisan yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Liliana..." bisikan itu memanggil namanya.

"Siapa itu?" Liliana berteriak, meskipun suaranya hanya terdengar seperti bisikan.

Cahaya redup tiba-tiba muncul dari kartu hitam di depan mereka. Dari dalam kartu itu, bayangan mulai keluar, membentuk sosok tinggi dengan mata yang bersinar merah. Sosok itu tersenyum, tapi senyumnya tidak membawa kehangatan.

"Kamu mencari kebenaran, Liliana? Aku punya jawabannya. Tapi apakah kamu siap untuk membayarnya?"

Liliana tidak bisa menjawab. Tubuhnya membeku. Dalam keheningan itu, ia merasa sesuatu merayap di tengkuknya, dingin dan basah seperti cakar yang mencengkeram lehernya. Air mata mulai mengalir di pipinya, bukan karena ketakutan, tapi karena ia tahu bahwa tidak ada jalan keluar lagi.

Ketika lilin menyala kembali, Astarra sudah tidak ada. Ruangan itu kosong, kecuali untuk satu kartu tarot yang tergeletak di tengah lingkaran. Kartu itu menampilkan gambar Liliana sendiri, duduk di ruang yang sama, dengan bayangan gelap berdiri di belakangnya.

Lebih baru Lebih lama