Di dalam ruangan gelap yang hanya diterangi oleh lilin-lilin murahan yang sudah hampir meleleh habis, seorang perempuan muda duduk. Napasnya pendek, matanya menatap kosong pada boneka kain di tangannya.
Boneka kecil itu sederhana namun penuh detail menyeramkan. Jahitan benang hitam menghias wajahnya, memberi kesan senyum menyeringai yang membuat siapapun merinding.
Di atas meja ada pisau kecil, jarum-jarum tajam, dan sisa-sisa rambut serta benang merah yang kusut. Tangan perempuan itu gemetar sedikit saat ia meraih jarum, seakan-akan ada sesuatu yang ia tunda untuk lakukan.
Namun hatinya sudah penuh, mendidih oleh kemarahan yang sudah ia simpan bertahun-tahun. Rasa kecewa, pengkhianatan, dan kebencian menyatu menjadi energi gelap yang kini menguasainya.
Dunia selalu berputar tak adil, selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Dan ia? Ia sudah terlalu sering menjadi pihak yang kalah.
Setiap tusukan jarum yang ia lakukan pada boneka itu bukan sekadar gerakan iseng. Ada tujuan di baliknya, ada pesan yang ingin ia sampaikan pada seseorang yang jauh di sana. Seseorang yang dulu pernah ia percaya, tapi kini hanya meninggalkan luka yang menyakitkan.
Setiap tusukan seolah membawa rasa sakit yang pernah ia alami, dan ia ingin orang itu merasakannya, merasakannya dalam-dalam, di setiap inci tubuhnya. Ini bukan hanya ritual biasa; ini adalah caranya untuk membalas dendam, untuk melepaskan beban yang terus menghantui malam-malamnya.
Wajah perempuan itu menjadi lebih tegang saat ia menambahkan simbol-simbol pada meja. Tangan kanannya bergetar saat mencelupkan jari ke dalam darah yang sudah mengering, menggambar tanda di sekitar boneka dengan penuh kehati-hatian. Darah yang ia gunakan adalah miliknya sendiri, tanda pengorbanan, tanda keseriusan.
Ia tahu bahwa energi yang ia mainkan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Ritual ini memerlukan sesuatu yang lebih, sesuatu yang lahir dari rasa sakit yang tak bisa dilupakan.
Malam semakin larut, dan ruangan itu terasa semakin sempit. Asap dari lilin yang membakar menguap pelan-pelan, memenuhi udara dengan aroma campuran lilin dan rempah-rempah.
Matanya mulai terasa berat, namun ia tahu ini bukan saatnya menyerah. Satu tusukan lagi. Hanya satu tusukan lagi, dan semua rasa sakitnya akan berpindah.
Dengan napas terengah, ia menancapkan jarum terakhir tepat di tengah dada boneka itu. Sejenak, ruangan terasa sunyi. Bahkan suara derit angin dari luar pun terasa hening.
Tiba-tiba, perasaan lega mulai menyusup ke hatinya, mengisi kekosongan yang sudah lama ia rasakan. Namun ada juga sedikit ketakutan. Ketakutan pada apa yang baru saja ia lakukan. Bisakah ia kembali setelah ini? Bisakah hatinya benar-benar puas?
Lalu, ia tertawa pelan. Tertawa sinis, lelah, dan penuh kepuasan yang samar. Biarkan saja dunia melihat sisi gelapnya, biarkan mereka tahu bahwa ia bukanlah sosok lemah yang bisa diinjak-injak. Kalau memang harus ada harga yang dibayar, ia rela. Yang penting sakit hatinya tak lagi membebaninya.