Langit sore yang keemasan itu seperti melukiskan harapan. Di tengah hamparan rumput hijau yang bergoyang diterpa angin, seorang gadis berdiri, tangannya terangkat tinggi, jari-jarinya terbuka seolah hendak meraih sesuatu yang jauh. Di depannya, sebuah balon berbentuk hati melayang, tertiup angin, semakin tinggi dan semakin jauh.
Lia tersenyum pahit. Balon itu bukan sekadar benda. Baginya itu adalah simbol, harapan yang dilepaskannya dengan penuh perasaan. Setiap detik ia melihat balon itu menjauh, seperti perasaannya yang perlahan-lahan mencoba melepaskan semua harapan yang pernah ia simpan rapi di sudut hatinya.
“Aku bisa,” gumamnya pada dirinya sendiri, meski suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin.
Sudah lama Lia menggenggam harapan yang hampir mustahil. Ia jatuh cinta pada seseorang yang begitu baik, tetapi mereka seperti dua garis paralel yang tak pernah bertemu.
Takdir seolah selalu memainkan perannya, membuatnya tak pernah punya kesempatan untuk benar-benar bersama orang itu. Setiap kali ia berpikir bahwa mungkin ini saatnya, keadaan seolah berkonspirasi untuk menarik mereka menjauh.
Namun hari ini, di tengah lapangan terbuka ini, di bawah langit yang luas, Lia memutuskan untuk melepaskan semuanya. Ia telah menyimpan rasa itu terlalu lama, menggenggamnya erat meski ia tahu tak ada jalan untuk bersatu. Sore ini, dengan balon itu, ia memutuskan untuk merelakannya pergi.
"Kalau memang kita tak ditakdirkan untuk bersama. Biarlah aku melepaskanmu dengan perasaan yang damai," pikir Lia sambil mengikuti arah balon yang semakin kecil di angkasa,
Ada sesuatu yang menghantam perasaannya. Melepaskan tidak pernah mudah, terutama ketika harapan itu begitu dekat dengan hatimu. Tapi Lia tahu, mempertahankannya hanya akan menjadi beban.
Beban yang perlahan-lahan akan menenggelamkannya, mengaburkan dirinya sendiri dalam bayang-bayang harapan yang tak pernah bisa menjadi nyata.
Ia menatap balon itu untuk terakhir kali sebelum akhirnya menghilang di balik awan. Dadanya terasa sesak, tetapi bersamaan dengan itu ada rasa ringan yang mulai menjalari dirinya. Seakan-akan untuk pertama kalinya, ia bebas dari belenggu yang selama ini menahannya.
Lia kemudian duduk di rerumputan, menatap cakrawala yang mulai memudar diselimuti senja.
"Aku mungkin akan selalu mengingatmu, tapi kali ini, aku akan mengingatmu tanpa rasa sakit," bisiknya pelan.
Ia tertawa kecil. Betapa anehnya melepaskan sesuatu yang begitu ia inginkan malah membuatnya merasa lebih lega. Mungkin memang benar, beberapa cinta tak perlu dimiliki, cukup disimpan sebagai kenangan yang indah. Meskipun sakit, ia tahu keputusannya ini adalah jalan terbaik.
Matahari perlahan tenggelam, memberikan semburat jingga terakhirnya di ufuk barat. Lia menghela napas panjang, merasa seperti seseorang yang baru saja menutup bab dalam hidupnya.
Rasanya kosong, tetapi juga penuh. Kosong karena ia telah melepaskan seseorang yang begitu berarti, dan penuh karena ia sadar bahwa ia memiliki kekuatan untuk menjalani hidupnya tanpa bergantung pada mimpi yang tak mungkin terjadi.
Angin meniup rambutnya, seolah membisikkan kata-kata penghiburan. Lia mengangkat wajahnya, menatap langit yang perlahan gelap.
Di sana, balon merah berbentuk hati itu mungkin sudah jauh, mungkin sudah meletus entah di mana. Tapi baginya, balon itu tak lagi penting. Yang penting adalah keberaniannya untuk membiarkan sesuatu yang ia sayangi pergi.
"Mungkin ini bukan akhir. Ini adalah awal, awal dari kisahku yang baru," katanya pada diri sendiri.
Lia berdiri, merapikan bajunya, dan mulai melangkah pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Meninggalkan lapangan itu, ia merasa seolah ia baru saja meninggalkan beban yang telah lama ia bawa.
Untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk menghadapi dunia dengan harapan baru, harapan yang tidak bergantung pada siapa pun kecuali dirinya sendiri.