Udara di puncak yang biasanya sejuk itu terasa menusuk tulang malam itu. Embun tebal menyelimuti pepohonan, menyisakan pandangan remang-remang ketika menyusuri jalan setapak. Aku baru saja terpisah dari rombongan pendakian karena terpeleset dan kini tersesat sendirian. Panik mulai menjalar, keringat dingin membasahi punggungku.
Tiba-tiba langkahku terhenti. Di kejauhan, kulihat cahaya redup dari dalam sebuah bangunan seperti gubuk reyot. Dengan sisa harapan, aku bergegas mendekat. Semakin dekat, bayangan mengerikan memenuhi pandanganku.
Di dalam gubuk menyeramkan itu ada seorang anak lelaki. Usianya mungkin tak lebih dari sepuluh tahun. Pakaiannya lusuh dan compang-camping, wajahnya pucat pasi diterpa cahaya lilin di depannya. Tapi yang paling membuatku merinding adalah sosok di depannya.
Itu bukan manusia.
Tinggi sosok itu lebih kecil dari anak lelaki itu. Badannya kurus kering, dan seluruh tubuhnya ditutupi pakaian lusuh. Kepalanya tidak berbentuk seperti manusia normal. Ditambah dua mata yang bersinar merah, seolah bara api terpendam di dalamnya.
Sosok itu kaku dan tidak bergerak, seperti boneka marionette yang digantung dengan tali. Tapi ada hawa dingin yang terpancar darinya, hawa yang membuat bulu kudukku berdiri tegak.
Anak lelaki itu sepertinya menyadari kedatanganku. Dia mendongak, tatapan matanya kosong dan hampa. Api lilin di depannya semakin redup, nyaris padam.
"Tersesat?" suaranya parau, nyaris seperti bisikan. Aku hanya bisa mengangguk.
"Ikut aku," lanjutnya, "Aku tahu jalan keluar."
Tanpa berpikir panjang, aku mengikuti langkah gontai anak lelaki itu. Kami berjalan semakin jauh ke dalam hutan. Pohon-pohon semakin rapat, cahaya bulan tertutup dedaunan lebat. Aku mulai curiga, tapi rasa takut membuatku tak berani bertanya.
Setelah berjalan lama, kami sampai di sebuah tebing curam. Kabut tebal menutupi dasar jurang, membuatku tak bisa melihat seberapa dalam jurang itu.
"Di sini," kata anak lelaki itu sambil menunjuk ke jurang. "Jalan keluarnya ada di bawah sana."
Aku terpaku. Apa maksudnya? Tidak mungkin ada jalan keluar di jurang itu!
"Jangan takut, Bobon akan menjagamu," bisiknya lirih.
Saat itu, untuk pertama kalinya, sosok bermata merah itu bergerak. Tangan kurusnya terulur ke arahku dengan gerakan tersentak-sentak, tidak seperti manusia. Aku berteriak histeris dan berbalik untuk lari.
Tapi terlambat. Kakiku tersandung akar pohon dan aku terjatuh. Anak lelaki itu berdiri di atasku, matanya yang kosong menatapku dingin. Sosok bermata merah itu semakin dekat, hawa dinginnya menyelimutiku.
Tiba-tiba, teriakan lain menggema di hutan. Cahaya senter muncul, menerangi pepohonan. Rombongan pendakian yang kucari telah menemukan jejakku.
Sosok bermata merah itu mundur perlahan ke dalam bayangan pohon. Anak lelaki itu terdiam, tatapan kosongnya seolah menusuk jiwaku. Saat para pendaki mendekatiku, anak lelaki itu dan sosok mengerikan di sampingnya menghilang begitu saja, seolah tertelan kegelapan malam.
Kembali bersama rombongan, aku masih gemetar ketakutan. Pengalaman mengerikan itu tak pernah kulupakan. Sampai sekarang, misteri tentang anak lelaki dan boneka bermata merah di puncak itu terus membayangi pikiranku.
Apakah mereka benar-benar ada, atau hanya halusinasi akibat ketakutan tersesat di hutan malam itu? Berani menguji nyali dan mencari tahu kebenarannya?