Darah segar menetes dari mulut makhluk raksasa itu, membasahi lantai kastil yang berdebu dan sudah lama ditinggalkan. Langit mendung di luar, seakan takut menatap langsung sosok mengerikan yang berada di dalam. Sinar kuning menyala dari matanya, memantulkan kengerian yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Ia bergerak perlahan, suara cakarnya menggores lantai batu tua. Setiap langkahnya menggetarkan bangunan yang sudah lapuk itu, membuat beberapa batu jatuh dan menghantam lantai, seolah-olah kastil itu pun merasa ketakutan.
Kombinasi mengerikan dari sosok Batman yang misterius dan keganasan Wolverine kini bersatu menjadi sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Kulitnya yang penuh dengan bekas luka dan lapisan armor yang compang-camping tak mampu menyembunyikan otot-ototnya yang kekar, siap merobek apapun yang berani mendekat.
Namun di balik tubuhnya yang kokoh dan beringas, ada sesuatu yang lebih dalam. Mata kuningnya tak hanya memancarkan kengerian, tetapi juga kesedihan yang terselip di balik semua amarah itu. Rasa kehilangan, rasa bersalah yang menghantui—semua tertanam dalam dirinya, membuatnya bukan sekadar monster tanpa hati.
Di dalam kegelapan kastil, suara berbisik samar terdengar. Bisikan-bisikan yang seperti mengingatkan masa lalu.
Namun di balik tubuhnya yang kokoh dan beringas, ada sesuatu yang lebih dalam. Mata kuningnya tak hanya memancarkan kengerian, tetapi juga kesedihan yang terselip di balik semua amarah itu. Rasa kehilangan, rasa bersalah yang menghantui—semua tertanam dalam dirinya, membuatnya bukan sekadar monster tanpa hati.
Di dalam kegelapan kastil, suara berbisik samar terdengar. Bisikan-bisikan yang seperti mengingatkan masa lalu.
Tentang sebuah malam ketika dia masih manusia, ketika dia berdiri di bawah siraman cahaya rembulan, melindungi kota yang dia cintai dengan segenap jiwa. Tentang teman-teman yang hilang, tentang luka-luka yang pernah ia alami dan dendam yang tak pernah selesai.
Namun kini tak ada lagi yang tersisa dari masa lalu itu. Hanya amarah, kemarahan yang membakar dan menyisakan sosok monster yang kehilangan arah.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema di ruangan itu. Seorang pria, tak takut pada sosok raksasa itu, berjalan mendekat. Ia tahu bahwa mungkin ini adalah akhir hidupnya, tapi ada yang harus dikatakan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema di ruangan itu. Seorang pria, tak takut pada sosok raksasa itu, berjalan mendekat. Ia tahu bahwa mungkin ini adalah akhir hidupnya, tapi ada yang harus dikatakan.
"Kamu masih manusia. Kamu dulu adalah pelindung. Kamu adalah harapan bagi mereka yang lemah," suaranya tegas namun bergetar, berusaha menyentuh sisa-sisa kesadaran yang mungkin masih ada di dalam makhluk itu.
Makhluk itu berhenti, kepalanya sedikit miring, seakan mencoba memahami kata-kata yang disampaikan. Rahangnya yang penuh darah tertutup rapat.
Untuk sesaat matanya yang mengerikan itu tampak kosong. Seakan ada pertarungan di dalam dirinya—antara kegelapan yang memakan habis dirinya dan secercah harapan yang masih bertahan, meski kecil dan hampir padam.
Namun, harapan tak cukup untuk melawan kegelapan yang begitu pekat. Tubuhnya bergetar, cakar-cakarnya menancap di lantai, dan suara geraman yang keluar semakin keras.
Namun, harapan tak cukup untuk melawan kegelapan yang begitu pekat. Tubuhnya bergetar, cakar-cakarnya menancap di lantai, dan suara geraman yang keluar semakin keras.
Dengan satu gerakan cepat, ia melompat ke arah pria itu, menghunuskan cakarnya yang berlumuran darah, mengakhiri harapan tipis yang baru saja muncul.
Dalam sekejap, kesunyian kembali menyelimuti kastil. Namun, di balik sorot matanya yang kembali kosong, ada air mata darah yang jatuh perlahan.
Dalam sekejap, kesunyian kembali menyelimuti kastil. Namun, di balik sorot matanya yang kembali kosong, ada air mata darah yang jatuh perlahan.
Sebuah tanda, bahwa di dalam raga monster ini, masih ada jiwa yang tersisa, jiwa yang mungkin sudah terlalu hancur untuk diselamatkan, tapi masih berusaha untuk mengingat.
Ia berdiri di sana, terjebak dalam tubuh yang bukan miliknya, dengan amarah yang membakar, dan kesedihan yang tak pernah bisa ia lepaskan.
Ia berdiri di sana, terjebak dalam tubuh yang bukan miliknya, dengan amarah yang membakar, dan kesedihan yang tak pernah bisa ia lepaskan.