Ketika Masa Lalu Mengetuk Kembali Dengan Kerasnya

Ketika Masa Lalu Mengetuk Kembali Dengan Kerasnya

Aku duduk di teras rumah sambil memandangi hujan yang turun perlahan. Aroma tanah basah bercampur kopi hitam yang mulai mendingin di tanganku. Biasanya aku menikmati momen seperti ini, tapi sore ini ada sesuatu yang membuat pikiranku tidak tenang. 

Sebuah pesan singkat dari teman lama kemarin sore, sesuatu yang tidak pernah kupikir akan menggangguku.

“Dia sudah menikah,” tulis pesan itu.

Tujuh tahun. Sudah selama itu aku meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja. Bahwa melupakan adalah solusi terbaik. Namun sekarang, aku merasa seperti dihantam ombak besar yang datang tanpa peringatan.

Aku memejamkan mata. Wajahnya muncul di benakku, seperti sebuah film yang tiba-tiba diputar kembali. Saat pertama kali aku bertemu dengannya di kafe kecil tempat ia biasa membaca buku. 

Suaranya yang lembut saat mengucapkan “hai” pertama kali. Cara ia tertawa setengah menutup mulut, malu-malu. Kenangan itu menyeruak seperti angin yang menerobos pintu yang tidak tertutup rapat.

Namun bersama dengan kenangan indah itu, ada kepahitan. Aku tahu mengapa kami berpisah, dan aku tahu itu salahku. Aku terlalu keras kepala, terlalu angkuh untuk mengakui bahwa aku salah. Perdebatan kecil yang berubah menjadi perang dingin, sampai akhirnya ia pergi.

Selama bertahun-tahun, aku memilih untuk tidak tahu apa pun tentangnya. Aku memutuskan semua kontak, menghapus fotonya, bahkan pindah ke kota lain. Aku pikir, jika aku tidak mendengar kabarnya, aku akan baik-baik saja. Tapi sore ini, aku menyadari bahwa aku salah.

Ada dua perasaan yang saling bertabrakan di dalam diriku. Di satu sisi, aku merasa lega dan sedikit bahagia untuknya. Ia layak mendapatkan seseorang yang mencintainya dengan sepenuh hati, tanpa kebodohan seperti yang aku lakukan dulu. Tapi di sisi lain, ada rasa sesak yang sulit dijelaskan.

Apakah ini penyesalan, atau hanya egoku yang terluka karena aku bukan bagian dari hidupnya lagi? Aku tidak tahu.

Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini adalah yang terbaik. Bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk melepaskannya? Bukankah aku yang memintanya pergi saat itu? Tapi bisakah seseorang benar-benar berdamai dengan keputusannya sendiri?

Kopi di cangkirku sudah benar-benar dingin, tapi aku tidak ingin bangkit dari kursi ini. Hujan masih turun, menciptakan ritme yang menenangkan. 

Aku bertanya-tanya, apakah ia bahagia sekarang? Apakah ia memikirkan aku seperti aku memikirkan dia hari ini? Ataukah aku hanyalah masa lalu yang sudah benar-benar ia lupakan?

Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Apa pun yang kurasakan sekarang, itu sudah tidak penting. Ia sudah memiliki hidup baru. Aku hanya bagian dari masa lalunya yang mungkin tidak lagi relevan.

Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku. Aku harus belajar menerima. Bukan hanya menerima bahwa dia telah pergi, tapi juga menerima bahwa aku pernah mencintai seseorang sedalam itu, dan kehilangan dia adalah konsekuensi dari kesalahanku sendiri.

Hari ini, aku memutuskan untuk tidak lagi bertanya-tanya tentangnya. Aku tidak ingin tahu apa pun lagi. Bukan karena aku membencinya, tapi karena aku menghormati hidupnya yang baru.

Hujan mulai reda. Aku berdiri, membawa cangkir kopi yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Aku tahu aku masih butuh waktu untuk benar-benar berdamai, tapi setidaknya, sore ini aku mencoba untuk melangkah.

Karena pada akhirnya, mencintai berarti juga merelakan, bahkan jika itu berarti merelakan seseorang untuk bahagia dengan orang lain.

Lebih baru Lebih lama