Jogja, Tempat yang Selalu Menyimpan Cerita

 

ada sesuatu di jogja

Langit senja di Yogyakarta selalu punya cara memeluk hati yang lelah. Aroma hujan sore itu samar-samar bercampur dengan wangi tanah basah.

Aku berdiri di depan stasiun Tugu, merapatkan jaketku yang mulai usang. Tangan kanan memegang koper kecil, tangan kiri sibuk menggenggam ponsel yang tidak kunjung berbunyi.

Dia bilang keretanya tiba pukul empat sore, tapi sudah hampir setengah lima dan tidak ada tanda-tanda kehadirannya.

Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan mengamati orang-orang di sekitar. Anak kecil berlari riang, seorang lelaki tua duduk termenung di bangku, dan penjual bakpia yang sibuk melayani pelanggan. Tapi mataku tetap mencari satu sosok, sosok yang sudah enam tahun hilang dari hidupku.

“Nana,” begitu aku biasa memanggilnya. Nama panggilan itu dulu terasa ringan, seperti udara di Jogja, tetapi kini terasa seperti mantra yang menyakitkan.

Aku pernah bertanya pada Nana suatu hari, “Kenapa Jogja selalu terasa beda?”

Dia hanya tersenyum sambil berkata, “Karena Jogja itu bukan cuma tempat, Jogja adalah rasa. Kamu nggak bisa menjelaskannya, tapi kamu tahu kalau kamu merasakannya.”

Saat itu aku hanya tertawa. Namun sekarang, berdiri di kota ini tanpa dia, aku mulai mengerti maksudnya. Jogja punya cara mengingatkanmu pada apa yang hilang—dan apa yang ingin kau temukan kembali.

Nana pernah bilang, “Kau harus berhenti berlari. Kau terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bahkan tak kau pahami.”

Aku membantah saat itu, dengan alasan karir, ambisi, dan Jakarta yang selalu memanggilku. Tapi setelah semua ini, aku sadar, dia benar.

Aku melangkah pelan meninggalkan stasiun, menyusuri Jalan Malioboro yang ramai. Bau sate ayam dan suara pengamen menyatu dalam harmoni kacau yang entah kenapa terasa indah.

Di sebuah sudut toko musik kecil, aku berhenti. Ada gitar tua di etalase, mirip dengan yang dulu sering kumainkan di hadapan Nana. Aku teringat bagaimana dia menyanyikan lagu-lagu lama sambil bercerita tentang mimpi-mimpinya.

“Mimpi itu seperti lagu. Kadang kau harus mendengarnya berulang kali untuk benar-benar memahaminya,” katanya.

Aku masuk ke toko itu, berharap menemukan lebih dari sekadar gitar. Pemilik toko, seorang pria paruh baya dengan rambut beruban, menyapa ramah. “Mencari sesuatu, Mas?” tanyanya.

Aku hanya tersenyum. “Mungkin sesuatu yang sudah lama hilang,” jawabku setengah bercanda.

Dia tertawa kecil, lalu menunjuk rak penuh kaset tua. “Kadang yang hilang bisa ditemukan di sini, kalau kau cukup sabar mencarinya.”

Aku menelusuri kaset-kaset itu dan menemukan satu yang familiar. Lagu lama yang sering kami dengar bersama. Aku membelinya, lalu kembali melanjutkan langkah.

Langit mulai gelap saat aku tiba di Alun-Alun Selatan. Lampu warna-warni dari odong-odong berpadu dengan suara tawa anak-anak dan gemerincing lonceng kecil. Aku duduk di bangku taman, memasang earphone, dan memutar kaset itu.

Tiba-tiba ada seseorang menyentuh bahuku.

“Maaf telat,” suaranya masih sama seperti yang kuingat.

Aku menoleh. Nana berdiri di sana, dengan senyumnya yang selalu berhasil membuatku merasa pulang.

“Kamu tahu? Aku sempat ragu kamu akan datang,” kataku mencoba menyembunyikan rasa haru.

Dia tertawa kecil. “Jogja selalu memanggil kita kembali, kan? Kamu hanya perlu mendengarkan.”

Kami berjalan menyusuri kota, bercerita tentang apa saja, seperti dulu. Jalan kaki saja, katanya, agar kita bisa merasakan setiap langkah, setiap detik.

Aku akhirnya mengerti. Bukan Jogja yang istimewa, tapi apa yang kamu temukan di sana, atau siapa yang kamu temui. Jogja hanya memberikan panggungnya, tetapi ceritanya adalah milikmu.

Lebih baru Lebih lama