Kehangatan Malam di Bawah Cahaya Bulan Desa

Kehangatan Malam di Bawah Cahaya Bulan Desa


Perlahan, matahari terbenam di ufuk barat, meninggalkan langit dengan gradasi warna jingga dan ungu yang memukau. Sinar senja yang lembut itu membelai hamparan sawah yang menguning, seakan memberi salam perpisahan sebelum digantikan oleh kegelapan malam. Di tengah-tengah persawahan itu, berdiri kokoh sebuah gubuk reyot berdinding anyaman bambu.

Embun malam mulai turun, perlahan menyelimuti pepohonan dan rerumputan. Udara pedesaan yang sejuk menusuk hingga ke tulang, namun bapak tua renta bernama Pak Min tidak merasa terganggu. Ia duduk di kursi goyang reyot di teras gubuknya, tatapan matanya menerawang jauh ke langit.

Langit malam itu tampak begitu jernih, dihiasi oleh jutaan bintang yang berkelap-kelip bagaikan permata yang berserakan. Cahaya bulan yang purnama menerangi seluruh penjuru, membuat suasana malam di pedesaan itu terasa begitu syahdu dan damai.

Bagi Pak Min, pemandangan malam seperti ini adalah hal yang paling ia rindukan selama bertahun-tahun ia merantau di kota. Kini, setelah memasuki masa pensiun, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan menikmati sisa hidupnya di ketenangan pedesaan.

Suara jangkrik bersahutan memecah keheningan malam. Sesekali, kodok sawah ikut mengeluarkan suaranya yang khas, menambah suasana syahdu pedesaan. Pak Min memejamkan matanya, menghirup udara malam yang segar, dan membiarkan pikirannya berkelana ke masa lalu.

Ia teringat masa mudanya ketika ia masih bertani bersama istrinya. Mereka bahu-membahu mengurus sawah, melewati suka dan duka bersama. Namun, takdir berkata lain. Istrinya telah tiada beberapa tahun yang lalu, meninggalkan kesedihan yang mendalam di hati Pak Min.

Sebuah helaan napas pelan keluar dari mulut Pak Min. Meskipun rasa kehilangan itu masih terasa, ia mencoba untuk ikhlas dan tegar. Ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk menikmati keindahan alam pedesaan ini.

Tiba-tiba, suara langkah kaki memecah keheningan. Pak Min menoleh dan melihat seorang gadis kecil berlari ke arahnya. Itu adalah Nia, cucunya yang baru berusia delapan tahun. Nia tinggal di kota bersama orang tuanya, namun ia sering diajak untuk berkunjung ke kampung halaman Pak Min.

"Kek, lagi ngapain?" tanya Nia dengan suara ceria sambil duduk di pangkuan Pak Min.

Pak Min tersenyum dan mengelus rambut cucunya itu. "Kakek lagi ngeliatin bulan. Bulan purnama malam ini cantik sekali, ya?"

Nia mengangguk antusias. "Iya, Kek! Kaya permen cokelat besar!"

Pak Min terkekeh pelan. "Memang, Nia. Bulan itu benda yang luar biasa. Dia bisa menerangi malam tanpa mengeluarkan api."

Nia mendengarkan penjelasan kakeknya dengan penuh perhatian. Mata bulatnya menatap ke langit, tak henti-hentinya mengamati keindahan bulan dan bintang-bintang.

"Kek, nanti Nia bisa tinggal di sini sama Kakek aja nggak?" tanya Nia tiba-tiba.

Pak Min mengerutkan keningnya. "Memangnya Nia bosan tinggal di kota?"

Nia menggeleng pelan. "Nggak kok, Kek. Tapi Nia kangen Kakek. Di sini suasananya tenang, nggak berisik kayak di kota."

Hati Pak Min menghangat mendengar ucapan polos cucunya itu. Ia memeluk Nia erat-erat. "Kakek juga kangen Nia. Tapi Nia kan harus sekolah di kota. Nanti kalau libur sekolah, Nia bisa main ke sini lagi, ya?"

Nia tersenyum dan mengangguk patuh. Mereka berdua pun duduk berdiam-diaman, menikmati keindahan malam ditemani cahaya bulan yang terang benderang.

Bagi Pak Min, kehadiran Nia menjadi penerang hari tuanya. Kesedihan yang selama ini ia rasakan perlahan terhapus oleh keceriaan dan kasih sayang cucunya itu. Ia bersyukur masih memiliki keluarga yang begitu menyayanginya.

Malam semakin larut, bintang-bintang seolah berlomba-lomba untuk mengeluarkan cahaya mereka yang paling terang. Pak Min dan Nia pun akhirnya masuk ke dalam gubuk untuk beristirahat. Namun, keindahan malam yang syahdu itu akan tetap terkenang dalam hati mereka.

image source

Lebih baru Lebih lama