Saat Semesta Pernah Diam untuk Kita

Saat Semesta Pernah Diam untuk Kita

Aku masih ingat malam itu. Bukan karena ada kejadian besar atau sesuatu yang dramatis, tapi karena semuanya terasa begitu sederhana.

 

Kita duduk di bangku taman yang catnya mulai mengelupas, tanganmu dingin waktu menyentuh tanganku, dan kita hanya berbicara soal hal-hal sepele.

 

Tapi entah kenapa, semuanya terasa seperti potongan kehidupan yang sempurna. Seolah-olah semesta diam sebentar hanya untuk memberi ruang bagi kita.

 

Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada yang harus dikejar. Hanya dua orang yang saling menemukan ketenangan satu sama lain.

 

Kita tertawa sampai air mata keluar, hanya karena kamu menumpahkan kopi di baju sendiri. Kita bercerita sampai malam terlalu larut, sampai jalanan sunyi, sampai tak ada suara yang tersisa selain napas dan detak jantung yang pelan-pelan menyatu.

 

Ada bagian dari diriku yang hanya muncul saat bersamamu. Bagian yang tidak pernah kubuka ke siapa pun sebelumnya. Kamu mendengarkan dengan cara yang membuatku merasa aman. Kamu tidak memberi solusi, kamu hanya ada. Dan saat itu, kehadiranmu lebih dari cukup.

 

Sekarang, semuanya sudah berubah. Tidak ada lagi pesan larut malam. Tidak ada lagi diskusi kecil yang ujung-ujungnya selalu jadi tawa. Tidak ada lagi kita.

 

Tapi aku tidak menyesal.

 

Karena yang kita punya dulu itu nyata. Murni. Aku tidak ingin menghapus semua itu hanya karena akhirnya menyakitkan. Justru sebaliknya, aku ingin mengenangnya. Karena denganmu, untuk pertama kalinya aku merasa utuh.

 

Orang-orang bilang, “Melupakan adalah cara terbaik untuk sembuh.” Tapi bagaimana aku bisa melupakan rasa nyaman saat menggenggam tanganmu? Atau tatapanmu yang penuh harapan saat kamu bercerita tentang masa depan? Bagaimana aku bisa menghapus semua momen itu tanpa juga menghapus bagian dari diriku?

 

Kalau aku harus melupakanmu, itu berarti aku juga harus melupakan saat-saat di mana hidup terasa penuh arti. Saat-saat ketika dunia terasa berhenti berputar hanya agar kita bisa saling mendengar, saling merasakan.

 

Dan mungkin itu yang paling berat.

 

Bukan karena kamu sudah tidak di sini. Tapi karena kenangan tentangmu sudah menjadi bagian dari siapa aku sekarang. Mereka tertanam dalam cara aku mencintai, dalam cara aku kehilangan, dalam cara aku bertumbuh.

 

Jadi tidak, aku tidak ingin melupakanmu.

 

Aku hanya ingin belajar hidup berdampingan dengan kenangan tentangmu. Aku ingin tetap berjalan, meski dengan sebagian hatiku tertinggal di masa lalu.

 

Mungkin suatu hari nanti, kalau kita dipertemukan lagi di waktu dan tempat yang berbeda, kita bisa tersenyum dan berkata, “akhirnya.”

 

Tapi sampai saat itu tiba, aku hanya ingin berterima kasih.

 

Terima kasih karena pernah hadir dalam hidupku, karena pernah membuat segalanya terasa begitu masuk akal.

 

Terima kasih karena sudah membuatku percaya, walau hanya sebentar, bahwa cinta bisa sederhana dan dalam pada saat yang bersamaan.

 

Kalau suatu hari kamu mengingatku, ingatlah dengan hangat. Karena bagiku, kamu bukan sekadar masa lalu. Kamu adalah bagian dari perjalanan yang akan selalu kuanggap berharga.

Lebih baru Lebih lama