Langkahku terhenti di perempatan yang sama, seperti dulu. Angin malam membelai wajahku, mengingatkanku pada bau rambutnya yang selalu tercium saat ia berdiri di sampingku. Aku tak tahu kenapa harus ke sini lagi. Jalan ini tak punya janji apa-apa selain kenangan yang terus menempel, seperti debu di sudut-sudut pikiranku.
Nama pertama yang muncul di kepala adalah Lila. Senyumnya seperti musim semi yang tak pernah selesai. Ia yang pertama kali memberiku pelajaran bahwa mencintai seseorang artinya juga bersiap kehilangan mereka.
Saat kami berpisah, aku berbohong—mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Tapi sebenarnya aku menyimpan setiap detail tentangnya, dari caranya melipat tangan di atas meja hingga kebiasaannya memutar rambut saat berpikir. Ia pergi, angin membawanya ke arah yang tak pernah kutahu.
Namun hidup tidak berhenti. Selalu ada yang datang, selalu ada yang pergi.
"Apakah kau ingat Karina?" Suara itu datang dari dalam diriku sendiri, membawa sekelebat wajah yang lain.
Karina seperti badai. Ia masuk ke hidupku dengan kecepatan yang membuatku tak punya waktu untuk mempersiapkan apa-apa. Bersamanya, aku belajar tentang kebahagiaan yang tidak pernah tenang. Tawa kami pernah memenuhi ruang yang sekarang kosong di apartemen kecil ini.
Tapi seperti badai, Karina juga berlalu dengan cara yang sama mendadaknya. Ia meninggalkan aku yang menggenggam ruang kosong, berusaha merangkai kembali serpihan hidupku yang tercerai-berai.
Aku mencoba melupakan Karina dengan mencintai Nia. Tapi bagaimana mungkin seseorang melupakan badai dengan menikmati semilir angin? Nia terlalu tenang, terlalu penuh perhatian. Ia menenangkan hatiku yang porak-poranda, tetapi mungkin justru itu yang membuatku merasa tidak pantas untuknya.
Aku sering bertanya-tanya, apakah ia pernah tahu bahwa setiap kali aku menatapnya, ada sisa-sisa Lila dan Karina yang masih menghuni benakku?
Aku mencintai Nia dengan cara yang mungkin terlalu sunyi, hingga akhirnya ia menyerah mencoba mengerti aku yang selalu merasa tidak utuh.
Angin malam semakin kencang. Rasanya seperti mengingatkan bahwa aku bukan satu-satunya yang kehilangan. Bahwa mereka, semua perempuan yang pernah kucintai, mungkin juga menyimpan kenangan mereka sendiri—tentang aku, atau mungkin tidak sama sekali.
Ada bagian dari diriku yang ingin tahu. Apakah mereka pernah merindukan aku seperti aku merindukan mereka? Ataukah aku hanya seperti angin yang lewat, hadir tanpa benar-benar tinggal?
Aku menunduk, mengamati trotoar yang basah oleh gerimis. Tiba-tiba wajah Sinta muncul, yang terakhir dalam daftar panjang ini. Ia perempuan yang selalu ingin membuat semuanya terasa sederhana, padahal hidupku terlalu rumit untuk itu.
Ia sering berkata, “Kamu terlalu sibuk menyimpan masa lalu sampai lupa cara hidup untuk hari ini.” Aku tak pernah punya jawaban untuk itu.
Sinta adalah perempuan yang paling dekat denganku dalam memahami arti cinta yang sebenarnya. Tapi aku melepaskannya juga. Entah karena aku takut bahagia, atau karena aku terlalu bodoh untuk melihat bahwa aku tak butuh lagi mencari apa-apa. Segalanya sudah ada di depan mataku.
Angin terus berhembus, membawa aroma tanah basah dan bunyi langkah kaki yang tergesa. Aku berdiri di sini, seorang pria dengan banyak cerita tentang cinta yang tidak selesai.
Mereka semua, perempuan-perempuan itu, masih hidup di dalamku. Tidak ada yang benar-benar pergi. Aku ingin percaya bahwa di suatu tempat, mereka bahagia, meskipun bukan denganku.
Dan aku? Aku hanya seseorang yang berdiri di perempatan ini, berharap angin membawa pesan bahwa aku juga pernah berarti, meskipun hanya sebentar.