Rina menutup pintu dengan lembut, menghindari bunyi berisik yang mungkin membangunkan anak-anaknya. Langit di luar masih kelabu, pertanda malam belum sepenuhnya pergi.
Ia menarik napas dalam, dinginnya udara pagi mengisi paru-parunya. Di genggamannya, secarik kertas yang penuh dengan kata-kata yang telah ia tulis semalam. Surat itu bukan untuk suaminya, Bima, tapi untuk dirinya sendiri.
Bima sudah pergi tiga hari yang lalu. Tanpa peringatan, tanpa ucapan selamat tinggal, hanya ruang kosong di sisi ranjang mereka dan lemari yang separuh kosong.
Rina tidak menangis waktu itu. Ia hanya duduk di ruang tamu, menatap pintu yang tak akan terbuka lagi untuk Bima. Sekarang, saat membaca ulang surat yang ia tulis, matanya tetap kering. Ada kekosongan yang terlalu dalam untuk diisi oleh air mata.
"Aku bukan perempuan yang sempurna. Aku tahu itu. Tapi aku mencoba. Aku selalu mencoba," tulis Rina dalam surat itu.
Surat itu panjang, lebih panjang dari yang ia kira saat pertama kali menulisnya. Ada cerita-cerita kecil yang ia ingat, seperti hari ketika mereka pertama kali bertemu di tepi pantai.
Rina baru saja menyelesaikan kuliahnya. Bima, pria yang selalu terlihat yakin, datang menawarkan es kelapa muda. Mereka tertawa bersama saat air kelapa tumpah mengenai kemeja Bima. Saat itu ia pikir cinta adalah hal yang sederhana.
Tapi cinta ternyata lebih rumit dari tawa di tepi pantai. Lima tahun pernikahan telah mengajarkan itu. Ada hari-hari ketika mereka tidak saling bicara, hanya suara TV yang mengisi keheningan. Ada malam-malam ketika Bima pulang lebih lambat dari biasanya, dan alasan-alasannya semakin tidak masuk akal.
"Lembur," atau "Ada proyek baru," katanya.
Rina tidak pernah bertanya lebih jauh, mungkin karena ia takut pada jawaban yang mungkin ia dengar.
Kini, di hari keempat setelah kepergian Bima, Rina memutuskan untuk pergi ke pantai tempat mereka dulu bertemu. Ia membawa anak-anaknya, Nina dan Rizal, meski mereka terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Nina memegang erat tangannya, sementara Rizal berjalan sambil menyeret mainan kapal plastik kecil di pasir.
Di tepi pantai, angin laut berhembus lembut. Rina berdiri di dekat garis ombak, membiarkan air laut menyentuh kakinya. Ia mengeluarkan surat itu dari tasnya, membaca baris terakhir sebelum melipatnya kembali.
"Jika kau tak bisa tinggal, aku juga tak bisa memaksa. Tapi aku akan tetap ada untuk mereka, seperti laut yang selalu ada untuk pantainya," tulisnya.
Ia membakar surat itu. Api kecil berkobar, menghabiskan kertas dengan cepat. Rizal menatap api itu dengan penuh rasa ingin tahu, sementara Nina bertanya, "Mama, apa itu?"
"Hanya surat," jawab Rina dengan senyuman kecil. "Surat yang tak perlu ada lagi."
Ketika api padam, Rina merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Ia menggenggam tangan Nina dan memanggil Rizal yang sibuk bermain pasir.
"Ayo, kita jalan-jalan di tepi pantai," ajaknya.
Saat mereka berjalan, Rina merasa seolah langkahnya lebih ringan. Ia melihat ke arah cakrawala, di mana laut dan langit bertemu. Entah kenapa, ia merasa seperti ada sesuatu yang menunggunya di sana. Bukan jawaban atas pertanyaannya, tapi mungkin awal dari sesuatu yang baru.
Ia tahu, setelah ini, akan ada hari-hari yang berat. Malam-malam ketika anak-anak bertanya di mana ayah mereka, dan ia harus mencari kata-kata untuk menjawabnya.
Tapi untuk saat ini, di pantai ini, dengan angin yang menerbangkan rambutnya dan pasir yang hangat di bawah kakinya, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi semuanya.
Rina berhenti sejenak dan memandang anak-anaknya yang berlari kecil mengejar ombak. Ia tersenyum tipis. Ada kekuatan dalam dirinya yang ia tidak sadari sebelumnya. Seperti pantai yang tetap kokoh meski diterjang ombak, ia tahu ia akan baik-baik saja. Tidak sempurna, tidak tanpa luka, tapi tetap berdiri.