Hujan turun perlahan di desa kecil itu. Jalanan becek, namun suasananya tetap hangat karena warga saling menyapa dari balik jendela rumah kayu mereka.
Di sudut desa, ada
sebuah rumah tua yang hampir terlupakan. Pemiliknya, seorang kakek bernama Pak
Wiryo, baru saja berpulang.
Di tengah
duka, keluarga Pak Wiryo menemukan tumpukan surat yang disimpan rapi di dalam
sebuah peti kecil di kamar tidurnya. Surat-surat itu ditujukan untuk seseorang
bernama "Rini," yang tidak dikenal oleh keluarganya. Surat-surat itu
tidak pernah terkirim.
Sepotong Kenangan di Masa Lalu
Pada suatu
masa, Pak Wiryo adalah seorang pemuda penuh harapan. Ia bekerja sebagai tukang
kayu di desa, mengukir kehidupan dengan tangannya yang kasar tapi terampil.
Di pasar desa,
ia bertemu Rini, seorang gadis penjual bunga. Senyuman Rini adalah sesuatu yang
selalu ia nantikan setiap pagi, lebih dari sinar matahari yang muncul di balik
gunung.
"Mawar
ini buatmu, Wiryo," kata Rini suatu hari sambil menyodorkan bunga yang
masih segar. Wiryo hanya bisa tergagap, lalu menerima bunga itu dengan tangan
gemetar.
Hari demi hari, mereka semakin dekat. Rini adalah cahaya dalam hidup Wiryo, sementara Wiryo adalah pelindung yang selalu menjaga Rini. Tetapi hidup tidak selalu adil. Orang tua Rini tidak menyetujui hubungan mereka. Mereka menganggap Wiryo tidak cukup baik untuk anaknya.
"Dia hanya tukang kayu," kata ayah Rini
dingin.
Rini dipaksa menikah dengan pria pilihan orang tuanya dan pindah ke kota. Di hari perpisahan mereka, Wiryo berlari ke stasiun untuk mengejar kereta Rini. Hujan deras mengguyur tubuhnya, tapi ia tidak peduli.
Di tangannya ada sebuah surat yang ia
tulis semalaman. Surat itu berisi semua perasaannya, semua janji yang ingin ia
tepati.
Namun, kereta
sudah pergi saat ia tiba di stasiun. Wiryo berdiri di sana, basah kuyup, dengan
surat yang tetap tergenggam erat. Hari itu, ia kehilangan Rini.
Surat-Surat yang Tak Pernah Sampai
Wiryo tidak pernah menikah. Setiap tahunnya, di hari ulang tahun Rini, ia menulis surat. Isinya beragam: cerita tentang harinya, tentang ukiran kayu yang ia buat, tentang betapa ia merindukan Rini. Ia selalu berencana mengirimkan surat-surat itu, tetapi setiap kali, ia ragu.
"Mungkin Rini sudah bahagia. Aku tidak ingin mengganggunya,"
Hingga akhir
hayatnya, Wiryo terus menulis. Surat-surat itu adalah caranya menjaga cinta
yang tak pernah pudar, meski ia tahu bahwa Rini mungkin sudah melupakannya.
Ketika keluarga Pak Wiryo membaca surat-surat itu, mereka tersentuh oleh kedalaman cintanya. Mereka memutuskan mencari tahu siapa Rini.
Setelah bertanya ke sana
kemari, mereka menemukan bahwa Rini masih hidup, tinggal di sebuah panti jompo
di kota.
Anak Pak Wiryo membawa surat-surat itu kepada Rini. Saat ia membaca surat-surat itu, air mata Rini mengalir deras.
"Aku juga mencintai dia," bisiknya sambil
memegang erat surat terakhir yang Wiryo tulis sebelum meninggal.
Rini bercerita
bahwa pernikahannya tidak bahagia. Suaminya meninggal muda, dan ia hidup
sendiri selama bertahun-tahun. Ia selalu merindukan Wiryo, tetapi merasa
terlalu malu untuk mencarinya kembali.
Pertemuan yang Terlambat
Beberapa
minggu kemudian, Rini mengunjungi rumah tua Wiryo. Ia duduk di kursi yang biasa
diduduki Wiryo, memandangi ukiran-ukiran kayu yang ia tinggalkan. Di salah satu
ukiran, ada sebuah nama kecil yang terukir dengan hati-hati: "Rini."
Rini tersenyum
pahit. Ia tahu bahwa cinta sejati itu tetap ada, meski tidak selalu bersama.
Dengan tangan gemetar, ia menulis surat balasan dan meletakkannya di atas peti
surat Wiryo.
"Wiryo,
terima kasih sudah mencintaiku dengan cara yang begitu indah. Maafkan aku
karena tidak pernah bisa kembali kepadamu. Kini aku tahu, cinta kita tidak
pernah benar-benar hilang. Sampai jumpa di kehidupan berikutnya."
Rini meninggalkan rumah itu dengan hati yang berat, tetapi penuh rasa syukur. Di dalam hatinya, ia merasa akhirnya bisa memberi jawaban pada cinta yang bertahan melampaui waktu.