Kisah Sunyi Dalam Penjara Kaca

mermaid

Hampir setiap sore, aku berdiri di depan kotak kaca besar itu, memandangi makhluk yang tampaknya begitu asing tapi terasa begitu dekat. Seorang perempuan dengan ekor ikan berkilauan. 

Aku tak tahu harus menyebutnya apa. Dia bukan manusia sepenuhnya, tapi juga bukan ikan. Namun saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Seolah-olah, dia ingin bicara.

Dia tidak pernah berbicara. Tidak sekali pun. Tapi aku bisa merasakan kesunyiannya memenuhi ruangan itu seperti air dalam akuariumnya. Matanya yang besar dan bening, seperti cermin yang memantulkan segala rasa—keingintahuan, ketakutan, bahkan mungkin kesedihan.

Aku bekerja di tempat ini, sebagai perawat hewan laut. Seharusnya tugasku hanya memastikan akuarium ini bersih, memastikan dia diberi makan, memastikan airnya tetap sejuk dan jernih. 

Namun dari hari pertama aku melihatnya, aku tahu ini bukan sekadar pekerjaan. Ada misteri di balik ekor peraknya yang menyapu air dengan lembut. Ada cerita yang ingin dia sampaikan, tapi tidak bisa.

“Kau sendirian di sini,” kataku suatu hari, lebih pada diriku sendiri daripada untuknya. Tapi matanya langsung mengarah padaku. Seolah-olah dia mengerti.

Setiap sore setelah pekerjaan selesai, aku akan duduk di bangku dekat akuarium, hanya untuk menemaninya. Kadang aku membacakan buku untuknya, kadang aku hanya duduk dalam diam. 

Aneh memang, tapi kehadirannya meski terkurung di dalam kotak kaca itu, justru membuatku merasa tidak sendirian. Dan entah bagaimana, aku merasa dia merasakan hal yang sama.

Suatu hari, saat aku sedang membersihkan akuarium, aku melihat sesuatu yang berbeda. Dia bergerak mendekat, lebih dekat dari biasanya. Tangannya yang ramping menyentuh kaca, tepat di depan wajahku. 

Jantungku berdebar. Aku meletakkan tanganku di tempat yang sama, hanya dipisahkan oleh kaca tebal itu. Rasanya seperti kami saling memahami tanpa kata.

“Kau ingin keluar dari sini, bukan?” bisikku.

Dia tidak menjawab, tentu saja. Tapi matanya, matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa kuabaikan. Harapan? Ketakutan? Atau mungkin keduanya. 

Malam itu, aku pulang dengan perasaan berat. Apa yang harus kulakukan? Aku tahu aturan di tempat ini. Dia adalah objek penelitian, salah satu “pencapaian” terbesar manusia dalam memanipulasi alam. Tapi bagi siapa pencapaian ini? Baginya, kotak kaca ini bukanlah rumah. Ini penjara.

Selama berminggu-minggu, pikiran itu terus menghantuiku. Aku mencoba menyangkalnya, mencoba meyakinkan diriku bahwa aku tidak bisa melakukan apa pun. 

Tapi setiap kali aku melihatnya, duduk diam di dasar akuarium, tatapannya seolah menembus hatiku. Hingga akhirnya, pada suatu malam, aku mengambil keputusan.

Aku tahu aku bisa kehilangan pekerjaanku. Bahkan lebih buruk, aku bisa dipenjara. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku datang ke tempat itu tengah malam, ketika semua orang sudah pulang. 

Dengan hati-hati, aku membuka akuarium, membiarkan airnya perlahan-lahan mengalir keluar ke saluran yang telah kusiapkan. Dia tidak bergerak, hanya menatapku dengan tatapan yang penuh pertanyaan.

“Ayo, ini kesempatanmu,” kataku dengan suara gemetar.

Dia ragu-ragu. Aku mengulurkan tanganku, dan untuk pertama kalinya, dia menyentuhku. Sentuhannya dingin, tapi penuh kepercayaan. Aku membantunya keluar dari akuarium, membungkusnya dengan kain basah, dan membawanya ke mobilku. Kami melaju dalam gelap, menuju laut yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kota.

Ketika akhirnya kami tiba, aku membawanya ke tepi air. Dia tampak ragu, tapi aku bisa melihat matanya berbinar. Dengan pelan, dia memasuki air. Ekor peraknya berkilauan di bawah cahaya bulan. Dia berbalik sejenak, melihatku dengan tatapan yang tidak akan pernah kulupakan.

“Pergilah,  Kau bebas sekarang,” kataku sambil tersenyum, meski hatiku terasa berat.

Dia menyelam, menghilang dalam gelombang. Aku berdiri di sana untuk waktu yang lama, menatap laut yang tenang. Ada rasa kehilangan yang mendalam, tapi juga kelegaan. Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar.

Kini, setiap kali aku melihat laut, aku bertanya-tanya, apakah dia baik-baik saja? Apakah dia merindukan kotak kaca itu, atau mungkin—seperti aku—dia juga merindukan seseorang yang pernah duduk di luar akuariumnya, membacakan buku, dan menemaninya dalam diam?

Lebih baru Lebih lama