Jejak Kecil di Antara Reruntuhan

 

Jejak Kecil di Antara Reruntuhan

Sepatu-sepatu kecil itu menghantam tanah yang penuh retakan dan debu. Mereka berlari secepat mungkin, napas mereka terengah-engah seolah dikejar oleh bayang-bayang yang tak pernah berhenti memburu.

Hancurnya bangunan di kiri dan kanan mereka seperti monster yang diam, namun selalu mengancam. Tiap kali terdengar gemuruh, mereka tersentak. Tapi tidak ada waktu untuk berhenti, tidak ada waktu untuk merenung.

Tangan kecil Mariam menggenggam erat adiknya, Yazin, yang masih terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi. Mata Yazin penuh dengan air mata, tapi ia tidak menangis, hanya terdiam terpaku pada langkah kaki kakaknya yang tidak pernah berhenti.

Bagi Mariam, satu-satunya fokusnya adalah menjaga adiknya tetap aman. Ia tidak tahu ke mana mereka harus pergi. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus bergerak, terus menjauh dari kehancuran.

Di depan mereka, Yahya memimpin. Anak tertua di antara mereka, Yahya sudah terbiasa menghadapi ketakutan. Tapi hari ini ia merasakan beban yang lebih berat.

Di punggungnya, sebuah tas yang dulu penuh dengan buku sekolah sekarang hanya berisi beberapa potong roti basi dan sebotol air. Ia tahu bahwa itu tidak akan cukup, tapi ia tidak punya pilihan lain. Mereka harus bertahan hidup, apapun caranya.

Sekali lagi, terdengar suara gemuruh dari langit. Mariam memeluk Yazin lebih erat, berusaha menenangkan gemetarnya tubuh adiknya.

Di belakang mereka, dua anak lainnya, Ziya dan Yusuf, saling berpegangan tangan. Mata mereka penuh ketakutan, namun ada secercah harapan yang masih tersisa. Harapan bahwa di suatu tempat ada tempat yang aman, tempat di mana mereka bisa berhenti berlari.

Namun setiap kali mereka melewati bangunan yang runtuh, harapan itu seperti teriris sedikit demi sedikit. Di jalanan yang dulunya penuh dengan kehidupan, sekarang hanya ada reruntuhan dan puing-puing.

Mereka tidak tahu apakah masih ada orang lain di luar sana, atau apakah mereka benar-benar sendirian di dunia yang penuh kehancuran ini.

Yahya tiba-tiba berhenti, tangannya terangkat sebagai tanda agar yang lain berhenti juga. Di depan mereka, sebuah jalan buntu. Sebuah bangunan besar telah runtuh, menutupi jalan keluar mereka. Hatinya tenggelam. Tidak ada jalan lain.

Mariam menatap Yahya dengan tatapan penuh ketakutan, namun Yahya hanya bisa menggelengkan kepala.

"Kita harus kembali," katanya pelan, tapi tegas.

Mereka berbalik, hati mereka dipenuhi dengan keputusasaan yang semakin dalam. Namun sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah ledakan terdengar, mengguncang tanah di bawah kaki mereka.

Yusuf terjatuh, kakinya terluka oleh puing-puing. Ziya berusaha mengangkatnya, tapi Yusuf tidak bisa berdiri. Air mata mulai mengalir dari mata Yusuf, bukan karena sakit tapi karena ketakutan. Ia tidak ingin menjadi beban.

Yahya dan Mariam segera mendekat, berusaha menolong Yusuf. Tapi mereka tahu, waktu mereka hampir habis. Suara langkah kaki semakin mendekat dari arah yang berlawanan. Ini bukan suara langkah kaki yang mereka kenal, ini adalah suara yang membawa ancaman.

Tanpa berpikir panjang, Yahya menggendong Yusuf di punggungnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, mereka kembali berlari. Mariam memeluk Yazin erat-erat, merasakan detak jantung adiknya yang semakin cepat. Jalanan semakin sempit, reruntuhan di mana-mana, dan langkah kaki itu semakin mendekat.

Di kejauhan, terdengar suara ledakan lainnya, mengguncang hati mereka dengan ketakutan yang lebih dalam.

Tapi mereka tidak boleh berhenti. Selama mereka masih bisa berlari, harapan itu masih ada meskipun hanya sebesar sebutir pasir di tengah gurun yang luas.

Dan meskipun mereka tidak tahu ke mana harus pergi, mereka tahu satu hal: mereka harus terus berlari, melawan segala ketakutan, melawan kehancuran, demi harapan yang mungkin masih ada di ujung perjalanan mereka.

Lebih baru Lebih lama