Hujan, Kenangan, dan Langkah yang Berat

 

Hujan, Kenangan, dan Langkah yang Berat

Hujan mulai turun, menari-nari di atas genteng rumah bata merah itu. Di bawah naungan awan gelap yang menggantung rendah, seorang perempuan muda berdiri diam di depan pintu, koper merah di satu tangan dan yang satunya lagi tergeletak di tanah. 


Dia memandang ke depan, ke jalan yang basah oleh hujan, ke arah taksi kuning yang menunggu di ujung jalan.

 

Langkah kakinya terasa berat, bukan karena koper yang dia bawa, tapi karena kenangan yang memenuhi pikirannya. Setiap tetes hujan yang jatuh membawa ingatan baru. 


Suara tawa yang pernah memenuhi rumah ini, aroma roti panggang dari dapur kecil yang hangat, dan suara pohon-pohon yang bergoyang pelan di halaman belakang setiap kali angin bertiup.

 

Dia tahu bahwa waktu telah membawa banyak perubahan. Rumah yang dulu penuh kehidupan kini sepi, ditinggalkan oleh mereka yang dulu dia sayangi. 


Dinding-dinding bata yang dulu terasa hangat kini tampak dingin dan tidak bersahabat, tertutup oleh lumut dan tanda-tanda usia. Rumah yang dulu terasa seperti pelukan hangat, kini hanya menjadi saksi bisu perpisahan yang akan segera terjadi.

 

Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, merasakan aroma tanah basah yang bercampur dengan harumnya daun-daun yang terkena hujan. Ini adalah aroma yang selalu mengingatkannya pada masa kecil, pada sore-sore panjang di mana dia duduk di beranda bersama neneknya mendengarkan cerita-cerita dari masa lalu.

 

Namun kali ini dia tahu, tidak akan ada cerita baru yang dia dengar. Tidak ada lagi yang tersisa di rumah ini selain kenangan yang tertinggal.

 

Dengan berat hati, dia melangkah maju, kakinya menyentuh batu-batu jalan setapak yang licin. Setiap langkahnya membawa dia semakin dekat ke taksi yang menunggu, namun juga semakin jauh dari tempat yang pernah dia sebut sebagai rumah.

 

Di dalam taksi, dia tahu dia akan memulai babak baru dalam hidupnya. Kota baru, pekerjaan baru, kehidupan baru yang belum dia kenal sepenuhnya.

 

Ada perasaan campur aduk antara kegembiraan dan ketakutan, antara harapan dan keraguan. Tapi yang paling menyakitkan adalah perasaan meninggalkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia dapatkan kembali.

 

Saat dia mencapai taksi, hujan turun semakin deras. Pengemudi taksi menatapnya dengan pandangan penuh simpati, seolah mengerti beban yang dia bawa.

 

Perempuan itu membuka pintu, memasukkan kopernya ke dalam bagasi, dan melangkah masuk ke dalam kendaraan. Sebelum taksi mulai bergerak, dia memalingkan wajahnya untuk melihat rumah itu sekali lagi.

 

Rumah bata merah itu kini tampak seperti bayangan dalam hujan. Dia tahu ini mungkin terakhir kalinya dia melihatnya, dan entah mengapa, ada perasaan lega yang perlahan muncul di dalam hatinya.

 

Meninggalkan sesuatu yang begitu penting memang sulit, tapi dia sadar bahwa tidak semua hal dalam hidup harus bertahan selamanya. Ada saatnya untuk melangkah maju, dan saat ini adalah saatnya.

 

Ketika taksi mulai bergerak menjauh, perempuan itu menatap ke luar jendela, melihat hujan yang masih terus turun dengan deras. Setiap tetes hujan yang jatuh di kaca jendela tampak seperti air mata yang belum sempat dia keluarkan. Tapi dia tidak menangis. Tidak kali ini.

 

Jalan di depan terlihat panjang dan penuh misteri. Tapi di dalam hatinya dia tahu, dia siap untuk menghadapi apa pun yang menunggunya di sana. Rumah itu akan selalu ada dalam kenangannya, tapi hidupnya harus terus berjalan.

 

Taksi melaju semakin cepat, meninggalkan rumah bata merah di belakang. Sementara hujan terus mengiringi kepergian mereka, seolah memberikan salam perpisahan yang terakhir.

image

Lebih baru Lebih lama