Serpihan debu beterbangan di udara, mengiringi langkah-langkah pasti seorang ratu yang tak pernah gentar. Aria berdiri di jantung kota kuno yang kini penuh luka, reruntuhan istana besar di belakangnya menjadi saksi bisu dari perang yang tiada akhir. Rambut peraknya berkilau di bawah terik matahari, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan untuk melindungi kerajaannya.
Baju zirah emas yang ia kenakan memantulkan sinar, mempertegas kehadirannya di antara pasukan yang setia menunggu perintah. Para prajurit, dengan wajah penuh tekad dan semangat yang membara, berdiri di belakangnya.
Mata mereka tertuju pada Ratu Aria, ratu yang mereka yakini akan membawa mereka kembali ke tanah air yang telah lama direnggut oleh bayang-bayang peperangan.
“Lihatlah sekeliling kita,” suara Aria menggetarkan udara, menyapu reruntuhan yang dulu adalah istana megah, kini hanya bayang-bayang dari kemegahan yang pernah ada. “Ini adalah warisan leluhur kita. Tanah ini, meskipun terluka, adalah rumah kita. Dan takdir kita adalah merebutnya kembali.”
Setiap kata yang diucapkan Aria membawa harapan dan keberanian, menyusup ke dalam hati setiap prajurit yang mendengarnya. Mereka tahu, ini bukan hanya tentang peperangan atau kemenangan semata.
Ini adalah tentang memperjuangkan hak mereka, tentang mempertahankan kehidupan dan masa depan yang layak untuk generasi yang akan datang.
Bayang-bayang gelap yang menyelimuti langit mengingatkan mereka akan ancaman yang kian mendekat. Musuh yang datang bukanlah musuh biasa. Mereka adalah pasukan kegelapan yang telah lama menebar teror di setiap jengkal tanah yang mereka injak.
Namun, Aria tidak gentar. Dia tahu, keberanian bukanlah tentang tidak merasa takut, melainkan tentang tetap maju meski rasa takut itu ada.
“Banyak yang telah kita korbankan,” lanjut Aria, matanya menyapu setiap wajah di hadapannya.
“Keluarga, teman, rumah. Namun, ingatlah bahwa pengorbanan mereka tidak akan sia-sia jika kita berdiri tegak dan berjuang. Musuh kita mungkin kuat, tapi kita memiliki sesuatu yang mereka tidak miliki—hati yang tak pernah menyerah.”
Angin berhembus, membawa aroma tanah dan peperangan yang telah berlangsung terlalu lama. Namun, di tengah-tengah itu semua, Aria menemukan kedamaian dalam hatinya. Dia tahu, apapun yang terjadi, dia telah memberikan segalanya untuk tanah kelahirannya.
Pasukan di belakangnya mengencangkan genggaman pada senjata mereka, tanda bahwa mereka siap untuk menghadapi apapun yang akan datang. Keberanian mereka seolah menular, membuat setiap detik terasa lebih berat namun juga lebih penuh makna.
Aria mengangkat pedangnya, cahaya emas memantul dari matahari dan menyebar ke sekeliling, memberikan aura yang hampir mistis. “Kita akan merebut kembali tanah kita, mengembalikan cahaya ke dalam hati yang telah lama tertutup kegelapan. Bersiaplah, karena hari ini, kita bukan hanya bertarung untuk hidup kita, tetapi untuk setiap generasi yang akan datang.”
Prajurit-prajuritnya menyambut seruan itu dengan sorakan yang menggema, menembus langit yang kini mulai tertutup oleh awan kelabu. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Langkah Aria mantap saat dia mulai maju, pasukannya mengikuti di belakangnya. Setiap langkah yang diambil adalah langkah menuju takdir, menuju perang yang akan menentukan nasib kerajaannya. Mereka tidak tahu apakah mereka akan kembali, tetapi satu hal yang pasti—mereka tidak akan mundur.
Di tengah reruntuhan yang menjadi saksi bisu dari semua pengorbanan, Ratu Aria memimpin pasukannya dengan keberanian yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang telah melihat dan merasakan kegelapan, namun tetap memilih untuk melawan.
Di hari itu, di jantung kota yang terluka, api perlawanan menyala kembali membawa harapan yang tak akan pernah padam.