Senyap menyelimuti malam di rumah tua itu, hanya terdengar gesekan dahan pohon di kaca jendela. Mila menggigil, bukan karena dingin, tapi karena perasaan tak nyaman yang terus merambat di punggungnya sejak tadi sore.
Bau lembap bercampur amis yang tidak biasa menyeruak di udara, seperti ada sesuatu yang membusuk di dalam rumah.
“Aku harus keluar dari sini...” gumamnya pelan, suaranya serak oleh rasa takut yang menumpuk.
Tapi kaki Mila tak bergerak, seolah dipaku ke lantai kayu ruang tamu yang berderit setiap kali ia mencoba melangkah. Matanya terus menatap ke arah sudut gelap di ruangan itu. Sudut yang sejak ia kecil selalu dihindarinya.
Ia tidak tahu kenapa. Tidak ada alasan jelas. Sudut itu hanyalah sebuah pojokan biasa dengan dinding yang berjamur dan lemari kayu tua yang penuh debu. Namun malam ini sudut itu terasa berbeda. Terasa hidup. Seperti ada yang mengintip dari balik kegelapan.
Mila menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan dirinya. “Hanya imajinasi… hanya imajinasi,” ia berbisik, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun bau amis itu semakin menyengat, membuat perutnya mual.
Dan saat itulah ia mendengarnya. Suara seperti sesuatu yang basah merayap di lantai. Mila membeku. Jantungnya berdegup begitu keras hingga ia takut suara itu bisa terdengar. Ia menoleh perlahan ke arah sudut itu. Gelap. Hanya gelap.
“Tok... tok... tok...” suara itu berubah menjadi ketukan lembut, seperti kuku-kuku tajam yang menyentuh lantai kayu. Suara itu semakin mendekat.
Mila menutup mulutnya dengan tangan, menahan napas. Mata air matanya mulai menggenang. Ia ingin lari, tapi tubuhnya tak mau mendengarkan.
Lalu, ia melihatnya.
Dari dalam kegelapan, sesuatu menjulur keluar. Tentakel berwarna ungu gelap, licin, dan berdenyut seperti memiliki nadi sendiri. Di ujungnya ada semacam cakar kecil yang bergerak-gerak, mencari sesuatu.
Mila terkesiap, mundur beberapa langkah, tapi tangannya tak sengaja menyenggol lampu meja. Lampu itu jatuh dan pecah, membuat suara keras yang menggema di seluruh ruangan.
Tentakel itu berhenti. Lalu, perlahan, ia bergerak ke arah Mila.
“Tidak… tidak, tidak!” Mila memekik sambil berbalik dan berlari menuju tangga.
Tapi langkahnya terpeleset di lantai yang licin oleh cairan lengket yang entah dari mana muncul. Ia jatuh dengan keras, merasakan sakit di lutut dan siku.
Saat ia mencoba bangkit, tentakel itu sudah sampai di kakinya. Ia merasakan sesuatu yang dingin dan basah menyentuh kulitnya.
“Lepas!” Mila menendang sekuat tenaga, tapi tentakel itu semakin erat melilit pergelangan kakinya. Ia berteriak histeris, mencoba meraih apa saja untuk melawan. Tangannya menemukan pecahan lampu meja tadi, dan ia menusukkan kaca itu ke tentakel tersebut.
Cairan hitam pekat menyembur keluar, tetapi tentakel itu tidak melemah. Sebaliknya, ia merasakan sesuatu menarik tubuhnya ke arah sudut gelap itu.
Mila mencakar lantai, berusaha menghentikan dirinya dari diseret masuk ke kegelapan. Tapi kekuatan itu terlalu besar. Saat ia hampir sampai ke sudut, sebuah suara bergema di dalam kepalanya, bukan dari mulut atau telinga, melainkan langsung masuk ke pikirannya.
“Kamu milikku sekarang…”
Suara itu dingin, berbisik, tapi penuh kekuasaan. Mila menjerit keras, tangannya memukul-mukul lantai, mencoba bertahan. Namun, tentakel lain muncul, melilit lengannya, pinggangnya, lehernya. Ia ditarik ke dalam sudut itu.
Gelap. Dingin. Bau amis semakin menusuk. Mila merasa tubuhnya tenggelam dalam sesuatu yang kental, seperti lendir. Ia mencoba bernapas, tapi cairan itu memenuhi mulut dan hidungnya. Ia tersedak, panik. Dalam kepanikan itu, ia melihat sesuatu.
Makhluk itu.
Mata merah menyala di tengah kegelapan. Gigi-gigi tajam melingkar di mulut besar yang penuh liur. Dan suara itu kembali terdengar di kepalanya.
“Kamu adalah bagian dari kami sekarang.”
Mila ingin menolak, ingin melawan, tapi tubuhnya mulai terasa mati rasa. Seperti ada sesuatu yang menyusup ke dalam kulitnya, merayap di bawah dagingnya. Rasa gatal yang luar biasa menyebar di seluruh tubuhnya. Ia berteriak lagi, tapi kali ini suaranya berubah. Tidak lagi manusia.
Lalu, tiba-tiba semuanya hening.
Ketika pagi tiba, rumah itu tampak seperti biasa. Tidak ada jejak perlawanan, tidak ada pecahan lampu, tidak ada darah. Hanya bau amis samar yang masih tersisa. Dan Mila? Ia berdiri di ruang tamu, matanya kosong, wajahnya pucat. Di punggungnya, sesuatu menjulur keluar.
Tentakel ungu, berdenyut pelan, hidup.