Cahaya di Neraka Kelam

 

Cahaya di Neraka Kelam

Bau hangus menusuk hidung Anton, lebih tajam dari kopi pahit kesukaannya. Ketika ia membuka mata, yang dilihatnya hanyalah lautan api. Gedung-gedung pencakar langit yang dulu menjulang tinggi di Jakarta kini berubah menjadi tumpukan arang raksasa.

Asap hitam pekat membubung ke langit, menelan matahari yang seharusnya bersinar terang. Langit senja yang kekal itu semakin mencekam dengan kehadiran sosok-sosok bersayap lebar yang melayang angkuh di udara.

Para malaikat, begitu Anton menyebut mereka dalam hati, memiliki wajah yang jauh dari kata bersahabat. Matanya yang berwarna kuning menyala menatap Anton dengan penuh kebencian. Di tangan mereka tergenggam tombak bercahaya yang ujungnya berdesis mengancam.

Anton tersentak bangun. Kakinya menginjak tanah berbatu yang panas membara. Jeritan kesakitan menusuk telinganya. Di sekelilingnya, para manusia meronta-ronta di tengah lautan api. Ada yang terbakar hidup-hidup, ada yang dicabik-cabik oleh makhluk-makhluk mengerikan berwujud campuran manusia dan binatang. Mereka berlari tak tentu arah, namun para malaikat dengan tombak bercahaya selalu berhasil menangkap mereka.

"Tidak mungkin ini neraka," gumam Anton. Ia memejamkan mata, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat adalah kecelakaan motor yang mengerikan. Ia terbangun di tempat ini, di tengah neraka yang tak pernah ia bayangkan.

"Hey!" teriak Anton pada salah satu malaikat yang tengah menyeret seorang wanita tua. Malaikat itu menoleh, tatapannya menusuk tajam. Anton mundur beberapa langkah, keringat dingin membasahi dahinya.

"Tempat ini untuk para pendosa," kata malaikat itu, suaranya bagaikan desisan ular. "Kau pantas berada di sini."

Anton menggeleng. "Saya tidak bersalah! Saya bukan orang jahat!"

Malaikat itu tertawa terbahak-bahak, suaranya bergema mengerikan di antara deru api dan jeritan manusia. "Kau pikir kau bisa membohongi kami?" katanya. "Semua dosa masa lalumu tercatat jelas. Kesombonganmu, ketamakanmu, semua akan dibalas di sini!"

Anton terdiam. Ia memang bukan orang suci. Ia pernah berbohong, pernah berbuat curang demi keuntungan pribadi. Namun, ia tidak pernah berpikir perbuatan-perbuatan kecil itu akan membawanya ke tempat mengerikan ini.

Tiba-tiba, tanah bergetar hebat. Sebuah bangunan raksasa yang terbuat dari api hitam runtuh menimpa sekelompok manusia. Para malaikat hanya melihat dengan tatapan dingin, tak ada belas kasihan sedikit pun di mata mereka.

Di tengah kepanikan itu, Anton melihat seorang pria tua berjubah putih berjalan tenang di antara lautan api. Api itu seolah menyingkir ketika pria tua itu mendekat. Para malaikat menghunus tombak mereka, namun pria tua itu tak bergeming.

"Hentikan ini!" perintah pria tua itu, suaranya berwibawa. Para malaikat tampak ragu-ragu.

"Abaddon," kata salah satu malaikat, "Mereka adalah para pendosa. Mereka pantas menerima hukuman."

"Hukuman yang adil," sanggah pria tua itu, "Bukan pembantaian tanpa henti ini."

Pria tua itu menatap Anton. "Kau," katanya, suaranya lembut, "Kau masih punya kesempatan."

Anton ternganga. Kesempatan apa yang ia bicarakan? Di tempat terkutuk ini?

"Ikuti aku," kata pria tua itu.

Anton ragu-ragu, namun nalurinya berkata untuk mempercayai pria tua itu. Ia pun berlari mengikuti pria tua itu menembus lautan api. Para malaikat tak menghentikan mereka.

Mereka berlari hingga sampai di sebuah gua yang tersembunyi di balik reruntuhan gedung. Di dalam gua itu, beberapa orang lain bersembunyi, wajah mereka penuh ketakutan.

"Selamat datang di tempat persembunyian," kata pria tua itu. "Aku Michael. Dan kalian semua, para pendosa yang tersesat, masih ada harapan untuk ditebus."

Anton tertegun. Malaikat yang pemberontak?

Kisah Michael sang malaikat pemberontak dan para manusia tersesat yang mencari penebusan pun baru saja dimulai. Perjalanan mereka akan panjang dan penuh bahaya. Namun, di tengah neraka yang kelam itu, secercah harapan mulai menyala.

Hari berganti hari di neraka buatan itu. Anton dan para penghuni persembunyian lainnya perlahan terbiasa dengan keadaan. Michael, sang malaikat pemberontak, ternyata memiliki pengetahuan luas tentang seluk beluk neraka.

Ia menjelaskan bahwa para malaikat yang kejam itu telah dipengaruhi oleh sosok jahat bernama Belial. Belial, menurut Michael, tengah berusaha merebut kekuasaan neraka dari Tuhan dan para malaikat yang setia.

"Belial memutarbalikkan konsep neraka," jelas Michael. "Seharusnya neraka adalah tempat pemurnian, bukan pembantaian."

Para penghuni persembunyian pun mengerti. Mereka bukan sedang dihukum, melainkan dijadikan pion dalam permainan perebutan kekuasaan. Hal ini memicu kemarahan mereka. Mereka ingin melawan, namun mereka hanyalah manusia biasa.

"Kita butuh bantuan," kata Anton. "Ada yang bisa kita lakukan?"

Michael tersenyum tipis. "Kalian para manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki para malaikat: iman. Iman kepada kebaikan, kepada penebusan."

Michael kemudian menjelaskan rencananya. Mereka akan menyusup ke markas para malaikat yang dikuasai Belial. Tujuan mereka adalah mengambil "Api Penyucian", sebuah artefak suci yang konon bisa melemahkan Belial dan para pengikutnya.

Perjalanan mereka menuju markas para malaikat itu berat dan penuh bahaya. Mereka harus melewati lautan api yang semakin ganas, menghindari para malaikat penjaga, dan melawan para monster mengerikan yang berkeliaran.

Selama perjalanan, Anton dan yang lainnya menyaksikan kekejaman Belial secara langsung. Mereka melihat desa-desa manusia yang dibakar habis-habisan, para malaikat yang disiksa hingga menyerah dan bergabung dengan Belial. Api kebencian pun semakin membara di dada mereka.

Suatu malam, ketika mereka beristirahat di reruntuhan sebuah bangunan, Anton bermimpi. Ia melihat cahaya putih yang terang benderang. Cahaya itu kemudian membentuk sosok wanita berwajah lembut dan penuh kasih.

"Jangan menyerah," bisik sosok itu. "Imanmu adalah kekuatanmu."

Anton terbangun dengan perasaan lega. Mimpi itu memberinya kekuatan dan harapan untuk terus berjuang.

Setelah melewati perjalanan selama berminggu-minggu, mereka akhirnya sampai di markas para malaikat. Markas itu berupa benteng raksasa yang terbuat dari obsidian hitam, menjulang tinggi di tengah lautan api. Para malaikat penjaga bersenjata lengkap berpatroli di sekeliling benteng.

"Kita tidak mungkin menerobos masuk secara frontal," kata Michael. "Kita harus mencari jalan lain."

Akhirnya, mereka menemukan terowongan rahasia yang menuju ke dalam benteng. Terowongan itu gelap dan penuh dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Mereka berjalan dengan hati-hati, waspada terhadap jebakan yang mungkin terpasang.

Setelah berjalan lama, mereka sampai di sebuah ruangan besar. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah pedupaan raksasa yang terbuat dari emas, dan di atasnya terpancar "Api Penyucian" yang berwarna biru jernih.

Namun, menjaga artefak itu bukan hanya para malaikat Belial, melainkan sosok berbadan tegap dengan jubah merah dan tanduk di kepalanya. Belial sendiri.

"Michael," kata Belial, suaranya bagaikan gemuruh guntur. "Kau berani sekali memasuki wilayahku."

Pertempuran pun tak terhindarkan. Michael, dengan pedang yang terbuat dari cahaya suci, melawan Belial dengan tombak berduri yang mengeluarkan hawa panas. Sementara itu, Anton dan yang lainnya bertempur melawan para malaikat Belial.

Pertempuran itu berlangsung dengan sengit. Para manusia, walaupun kalah dalam kekuatan fisik, bertarung dengan penuh semangat. Iman mereka menjadi tameng dan pedang mereka.

Melihat para manusia bertarung dengan gigih, beberapa malaikat Belial mulai ragu. Mereka teringat kembali pada sumpah mereka untuk melindungi manusia, bukan menyiksa mereka.

Perlahan-lahan, para malaikat itu mulai berpaling ke pihak Michael dan para manusia. Keadaan pun mulai berbalik.

Belial, melihat pasukannya mulai goyah, menjadi murka. Ia mengeluarkan kekuatan penuhnya, hawa panas yang luar biasa menyelimuti ruangan. Michael terhuyung mundur, terluka parah.

Melihat Michael terluka, Anton nekat. Ia berlari ke arah pedupaan dan meraih "Api Penyucian" dengan tangan kosong. Api itu terasa dingin dan menyejukkan, berbeda jauh dari api neraka yang membakar.

Anton kemudian melemparkan "Api Penyucian" ke arah Belial. Api itu mengenai Belial tepat di dadanya. Belial menjerit kesakitan, tubuhnya terbakar oleh api suci itu.

Dengan suara yang membelah langit, Belial lenyap ditelan cahaya biru "Api Penyucian". Para malaikat pengikutnya terjatuh berlutut, sayap mereka terkulai lemas. Hawa panas yang menyiksa pun lenyap seketika, digantikan oleh hawa yang sejuk dan menenangkan.

 

Michael terbatuk-batuk, berusaha bangkit dari posisinya. Ia menatap Anton dengan tatapan penuh rasa hormat. "Kau...kau pemberani sekali," ucapnya terbata-bata. Anton hanya tersenyum. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas, namun hatinya dipenuhi rasa lega dan damai.

 

Para malaikat yang berbalik arah kini berkumpul di sekitar Michael. Mereka meminta maaf atas perbuatan mereka selama ini, terbius oleh bujuk rayu Belial. Michael, dengan kebijaksanaannya, menerima permintaan maaf mereka.

 

Namun, neraka belum sepenuhnya pulih. Jejak kehancuran Belial masih berserakan dimana-mana. Para monster mengerikan masih berkeliaran, dan para manusia yang disiksa belum tentu bisa kembali ke kehidupan mereka semula.

 

"Pekerjaan kita belum selesai," kata Michael. "Kita harus membangun kembali neraka menjadi tempat pemurnian seperti seharusnya."

Para malaikat dan manusia yang tersisa pun bahu-membahu membersihkan neraka. Mereka menguburkan para korban kekejaman Belial, serta berusaha menutup celah-celah yang menjadi sumber api neraka yang tak kunjung padam.

 

Hari demi hari, neraka perlahan berubah. Api yang membakar tanpa henti mulai mereda, digantikan oleh hamparan tanah tandus yang sunyi. Para monster mengerikan yang tersisa dibasmi habis-habisan.

 

Suatu hari, ketika Anton sedang membantu para malaikat membangun sebuah tempat suci, cahaya terang benderang memenuhi neraka. Cahaya itu berasal dari langit yang tadinya berwarna senja kelam. Langit itu kini berwarna biru jernih, dengan awan putih yang berarak-arakan.

 

Sosok wanita berwajah lembut dan penuh kasih yang Anton lihat dalam mimpinya muncul di tengah cahaya itu.

"Sudah waktunya kalian pulang," kata sosok itu, suaranya bagaikan musik yang syahdu.

 

Para manusia, termasuk Anton, bersorak sorai. Mereka rindu kehidupan mereka di dunia, rindu bertemu dengan keluarga dan orang-orang yang mereka sayangi.

 

Namun, sebelum mereka pergi, sosok itu menoleh ke arah Michael. "Tetaplah bertugas, Michael," katanya. "Jagalah neraka dengan baik. Dan jangan biarkan kegelapan kembali menyelimuti tempat ini."

Michael mengangguk hormat. Sosok itu pun perlahan menghilang, bersama dengan cahaya yang terang benderang.

 

Para manusia kemudian dibawa oleh para malaikat menuju sebuah portal cahaya yang terbuka di langit. Satu per satu, mereka melangkah masuk ke portal itu, kembali ke dunia yang mereka tinggalkan.

 

Anton menjadi orang terakhir yang melangkah ke portal cahaya. Ia berbalik menatap Michael untuk terakhir kalinya.

"Terima kasih, Michael," kata Anton.

 

Michael tersenyum. "Bukan aku yang harus kau ucapkan terima kasih," jawabnya. "Kau dan para manusia lainnya telah mengembalikan cahaya ke neraka. Dan itu adalah hal yang tak ternilai harganya."

 

Anton melangkah masuk ke portal cahaya. Cahaya itu membungkusnya, dan dalam sekejap, ia menghilang. Ia kembali ke dunia, ke kehidupan yang pernah ia tinggalkan, membawa serta pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan: pengalaman melawan kegelapan di neraka.

Lebih baru Lebih lama