Hening malam
terasa semakin menyesakkan dada. Adam duduk di sudut kamar yang gelap,
memandangi bayangannya di cermin. Semua tampak begitu hampa.
Dulu ia
memiliki mimpi—mimpi besar yang membawanya melangkah dengan penuh percaya diri.
Namun kini mimpi-mimpi itu hancur, terkubur di balik ketakutan dan rasa malu
yang tak kunjung pergi.
"Kenapa
semua ini harus terjadi?" gumam Adam pada dirinya sendiri, sambil meremas
kuat-kuat tangannya yang gemetar.
Ia merasa
terjebak dalam dunia yang rusak, di mana setiap langkah yang diambil hanya
membawa ke jurang kehancuran yang lebih dalam.
Adam pernah
memiliki semangat, jiwa yang penuh gairah untuk meraih semua yang ia inginkan.
Tapi entah bagaimana, semua itu perlahan terkikis, seperti tanah yang terus
menerus dihempas oleh badai tanpa henti.
Sekarang,
yang tersisa hanyalah kekosongan, kekeringan jiwa yang membuatnya merasa tak
lagi memiliki tujuan.
Setiap kali
ia mencoba bangkit, mencoba kembali menemukan cahaya dalam hidupnya, rasa takut
itu selalu datang menghantui. Takut akan kegagalan, takut akan penolakan, takut
akan kenyataan bahwa mungkin ia tak lagi mampu bermimpi.
"Apa
gunanya bermimpi, kalau akhirnya hanya akan terjatuh lagi?" pikirnya
dengan getir.
Berujung
pada depresi, begitu kira-kira perasaan yang Adam alami sekarang. Kehidupan
yang dulu penuh warna kini berubah menjadi hitam putih, gelap dan suram.
Setiap hari
terasa seperti malam yang tak berujung, dan ia tak bisa menahan rasa sakit yang
terus merayap dalam dirinya.
Ada kalanya Adam
merasa ingin pergi, meninggalkan semua ini di belakang. Tapi bahkan untuk itu,
ia tak punya kekuatan.
Bagaimana
mungkin ia bisa pergi, ketika rasa malu dan bersalah terus menghantuinya? Gelap
yang merobek dirinya secara perlahan, menggerogoti setiap harapan yang masih
tersisa.
Adam terjebak
dalam lingkaran putus asa, di mana mimpi-mimpinya hanya menjadi bayangan yang
tak mungkin lagi diraih. Ia bertahan dalam eksistensi yang steril, hidup dalam
rasa kasihan pada diri sendiri dan kesedihan yang tak pernah hilang.
Kehidupan
yang dulu ia anggap miliknya, kini seakan-akan diambil alih oleh kegelapan yang
terus menguat setiap harinya.
Terkadang, Adam
merasa seperti dipakukan pada rasa tidak aman yang terus menghantui setiap
langkahnya.
Hidup ini
seakan bukan lagi miliknya; siang hari berubah menjadi malam, dan malam menjadi
lebih panjang dari yang bisa ia tahan. Setiap hari hanya terasa seperti
kelanjutan dari mimpi buruk yang tak pernah berakhir.
Namun di
tengah semua keputusasaan ini, ada sedikit suara di dalam dirinya yang terus
bertahan. Suara yang mengingatkannya bahwa di balik kegelapan, pasti ada
cahaya.
Bahwa
meskipun mimpi-mimpinya hancur, ia masih punya kesempatan untuk membangun
kembali—mungkin tidak dalam bentuk yang sama, tapi dalam sesuatu yang baru,
sesuatu yang lebih kuat.
Adam tahu
bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ia tahu bahwa untuk bangkit dari
keterpurukan ini, ia harus melawan semua rasa takut dan ketidakamanan yang
terus menghantuinya.
Tapi di
dalam dirinya, ia masih memiliki kekuatan, meski hanya setitik. Dan itulah yang
akan ia genggam, hingga akhirnya ia bisa menemukan kembali jalan menuju cahaya.
Perjalanan Adam
masih panjang, dan gelap mungkin masih akan terus menyelimuti untuk beberapa
waktu. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia belum sepenuhnya kalah. Karena selama
ia masih bisa merasakan rasa sakit, itu berarti ia masih hidup. Dan selama ia
masih hidup, ada harapan.