Malaikat di Antara Kita

malaikat

Di tengah keramaian kota, ketika semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, ada seorang wanita yang menarik perhatian. Dia berjalan dengan tenang, penuh percaya diri, namun ada sesuatu yang berbeda. Bukan dari cara dia berpakaian yang tampak biasa saja—tetapi dari sayap putih besar yang memanjang di punggungnya. 

Orang-orang tidak menyadarinya, atau mungkin mereka berpikir itu hanya kostum, sesuatu yang aneh tapi bisa diterima di kota yang penuh dengan segala macam keanehan.

Tapi aku tahu, itu bukan kostum. Sayap itu nyata. 

Aku pertama kali melihatnya dari seberang jalan saat menunggu lampu hijau untuk menyeberang. Awalnya, aku hampir tidak memperhatikannya di tengah hiruk-pikuk kendaraan dan orang-orang yang bergegas. 

Namun, ketika dia berjalan mendekat, aku bisa merasakan kehadirannya, kehangatan yang aneh tapi menenangkan, seperti seseorang yang kamu kenal meskipun kamu tidak pernah bertemu sebelumnya.

Dia melintas di depanku, dan aku memperhatikan setiap langkahnya. Orang-orang di sekitarnya terus berjalan tanpa menyadari apapun yang spesial, seolah sayap putih besar di punggungnya adalah hal yang biasa. 

Aku ingin bertanya, ingin menghampirinya, tapi ada sesuatu yang menghentikanku—mungkin rasa takut, mungkin rasa kagum. Aku hanya bisa berdiri di tempat, menatap punggungnya yang semakin menjauh.

Sejak saat itu, aku melihatnya beberapa kali lagi. Selalu di tempat-tempat yang ramai, tapi dia selalu sendirian. Kadang di taman, duduk di bangku dengan buku terbuka di tangannya, kadang di kafe, mengamati orang-orang di sekelilingnya dengan senyuman samar di bibirnya. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya. 

Siapa dia? Mengapa tidak ada yang menyadari keberadaannya? Apakah dia malaikat yang berjalan di antara kita?

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Di sebuah taman yang sepi, dia duduk sendirian di bawah pohon besar. Aku berjalan perlahan, jantungku berdebar kencang. 

"Hai," kataku akhirnya, suaraku sedikit bergetar. 

Dia menoleh, dan untuk pertama kalinya aku melihat matanya secara langsung. Ada kehangatan di sana, cahaya lembut yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Dia tersenyum. "Hai," balasnya, suaranya tenang dan menenangkan. 

Aku duduk di sampingnya, mencoba mencari kata-kata. 

"Aku... aku sering melihatmu," kataku, akhirnya mengumpulkan keberanian. "Dan aku tidak bisa berhenti berpikir... apakah kamu benar-benar malaikat?"

Dia tertawa kecil, suara tawanya seperti alunan musik yang lembut. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Karena sayapmu," jawabku langsung. "Dan... entahlah, ada sesuatu tentangmu yang berbeda."

Dia diam sejenak, lalu menatap jauh ke arah langit. 

"Mungkin aku bukan malaikat seperti yang kamu pikirkan," katanya perlahan. "Tapi aku di sini untuk mengamati, untuk membantu, dalam cara-cara yang mungkin tidak selalu kamu sadari."

"Apa maksudmu?"

Dia menoleh padaku lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam, seolah dia bisa melihat langsung ke dalam jiwaku. 

"Kadang kita semua butuh sedikit bimbingan, sedikit cahaya dalam kegelapan. Mungkin kamu tidak akan mengingat pertemuan ini, tapi suatu hari nanti, saat kamu benar-benar membutuhkan, kamu akan tahu bahwa kamu tidak sendirian."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Semua ini terasa begitu nyata, namun pada saat yang sama, begitu tidak nyata. 

"Apa kamu akan pergi?" tanyaku akhirnya, takut bahwa ini mungkin terakhir kali aku melihatnya.

Dia tersenyum lembut lagi, lalu berdiri. "Aku selalu ada," jawabnya.

Lalu dengan langkah pelan, dia mulai berjalan menjauh. Saat aku memandangnya, aku melihat sayap putihnya perlahan memudar, seolah-olah menyatu dengan angin dan cahaya matahari sore.

Aku tetap duduk di sana, bingung, tapi pada saat yang sama, merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Mungkin dia benar-benar malaikat, atau mungkin hanya ilusi dari pikiranku. Tapi satu hal yang pasti—aku tahu aku tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama lagi.

Lebih baru Lebih lama