Kopi yang hampir dingin di meja sebelahnya sudah lupa diminumnya. Jari-jari tangannya sedikit bergetar saat merapikan koran di pangkuannya, meski pandangannya lebih sering melintasi halaman kata-kata itu, menuju laut lepas. Angin laut menyapu ringan wajahnya, dan suara debur ombak dari kejauhan seperti musik yang tak pernah berhenti menemani.
Dia menghela napas panjang, menikmati udara yang penuh aroma asin, bunga-bunga tropis, dan kayu basah dari lantai beranda. Bukan aroma yang biasa dia temukan di tengah kota.
Ini adalah surga kecilnya, jauh dari kebisingan, jauh dari tanggung jawab yang menghantui hari-harinya. Di tempat ini, dia tidak perlu berpikir tentang tumpukan pekerjaan, masalah yang tak pernah habis, atau orang-orang yang selalu mengharapkannya sempurna. Di sini, dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri, tanpa tuntutan.
Surat kabar di tangannya bukanlah sesuatu yang benar-benar ingin dia baca. Berita-berita itu terlalu penuh dengan realitas yang ingin dia lupakan sejenak. Dunia di luar beranda ini sedang berputar dengan kecepatan gila, penuh dengan kekacauan yang selalu terasa terlalu besar untuk diatasi.
Tapi di sini, di tempat ini, segalanya melambat. Matahari yang mulai turun perlahan seakan tahu betapa dia butuh waktu untuk sekadar duduk, merenung, dan merasakan detik yang berlalu tanpa tekanan.
"Kenapa dunia tidak bisa sesederhana ini?" gumamnya lirih, lebih untuk dirinya sendiri daripada siapa pun.
Tak ada jawaban, tentu saja, hanya suara burung camar yang melintas di atas, terbang bebas di langit biru tanpa beban. Mungkin burung-burung itu tidak pernah tahu bagaimana rasanya terbebani oleh pikiran yang tak pernah berhenti, atau perasaan yang selalu menyimpan harapan dan ketakutan yang saling berkejaran.
Ia merindukan kebebasan seperti itu. Kebebasan untuk hanya ada, tanpa merasa perlu menjadi seseorang atau sesuatu.
Dia mengingat masa kecilnya, ketika duduk di bangku kayu di taman rumah, memandang ke langit dengan perasaan tak terbebani. Dunia saat itu begitu sederhana. Tidak ada yang perlu dia kejar, tidak ada yang perlu dia takutkan. Hanya ada langit, awan, dan waktu yang seolah tidak pernah berakhir.
Sekarang, di usianya yang kepala tiga, perasaan itu telah lama menghilang, tergantikan oleh jadwal rapat, laporan yang harus diselesaikan, dan percakapan yang selalu terasa penuh dengan kepura-puraan. Dia mendesah, meletakkan koran di samping cangkir kopinya yang kini sudah benar-benar dingin.
Di kejauhan, ombak terus datang dan pergi, tidak pernah berhenti, seperti perasaannya yang selalu naik turun dalam diam. Dalam hati, dia tahu tidak mungkin benar-benar melarikan diri dari semuanya. Pada akhirnya, dia akan kembali ke kehidupan yang menunggunya. Tapi untuk saat ini, untuk beberapa saat lagi, dia hanya ingin berada di sini, di beranda kecil ini, bersama laut dan langit yang membentang luas.
Tidak ada pesan yang harus dia balas, tidak ada suara telepon yang mengganggunya. Hanya dia, angin yang berbisik pelan, dan ketenangan yang jarang dia temukan di tempat lain. Ini adalah momen yang akan dia simpan dalam ingatan—momen ketika semuanya terasa cukup, meskipun hanya sementara.
Matahari mulai tenggelam, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu. Tapi dia tidak bergerak. Masih ada beberapa menit lagi sebelum malam benar-benar mengambil alih, dan dia berniat menikmati setiap detiknya.
"Akan ada waktu untuk segalanya," pikirnya. "Tapi tidak sekarang. Tidak di sini."
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia tersenyum.