Kabut tebal
menyelimuti Bukit Gelap, begitu penduduk desa yang tinggal di perbatasannya
menyebutnya. Mereka berbisik tentang tempat itu dengan nada takut, menceritakan
kisah-kisikan tentang bayangan mengerikan yang bersembunyi di balik kabut
abadi.
Aku, seorang
peneliti yang haus akan adrenalin dan penemuan, tidak mengindahkan peringatan
mereka. Bukit Gelap memanggilku dengan janji akan rahasia yang terpendam.
Perjalananku
dimulai saat matahari terbit, sinarnya yang lemah berjuang menembus kabut
pekat. Semakin dalam aku masuk, semakin sunyi dan mencekam suasana. Pohon-pohon
mati meranggas menjulang tinggi, dahannya yang terentang seperti cakar raksasa
yang siap menerkam. Tanah gembur di bawah kakiku berdecit menyeramkan,
seolah-olah memprotes kehadiranku.
Tibalah aku di
jantung Bukit Gelap. Di sana, di tengah lapangan yang luas, berdiri sebuah
menhir raksasa, permukaannya dipenuhi ukiran aneh yang tidak bisa kupahami.
Saat aku
mendekatinya, embusan angin dingin menusuk tulang, membawa serta bau busuk yang
menusuk hidung. Tiba-tiba, keheningan pecah oleh suara berderak yang
mengerikan. Aku berbalik, jantung berdegup kencang.
Di atasku,
siluet mengerikan muncul dari balik kabut. Makhluk itu berbentuk seperti
malaikat, tapi jauh dari kata suci. Sayapnya yang lebar terbuat dari kulit
hitam legam, tampak lusuh dan berlubang. Tubuhnya yang kurus kering seperti
kerangka manusia, dibalut dengan pakaian compang-camping yang kuyup darah.
Namun, yang
paling mengerikan adalah matanya. Bola matanya yang kosong itu bercahaya dengan
warna merah yang menakutkan, seolah-olah api neraka terkurung di dalamnya.
Malaikat
zombie itu melayang turun, gerakannya perlahan tapi mengancam. Naluri
pertahananku mengambil alih. Aku berlari sekencang-kangnya, menerobos kabut
yang semakin tebal.
Malaikat itu
mengejarku, suara derakan sayapnya menusuk telingaku. Aku tersandung akar pohon
yang mencuat dari tanah dan terjatuh. Malaikat itu sudah di depanku, matanya
yang bercahaya menusuk ke dalam jiwaku.
Aku memejamkan
mata, pasrah menunggu kematian. Namun, yang kudapatkan bukanlah gigitan atau
cakaran, melainkan sentuhan dingin di tanganku. Perlahan, aku membuka mata.
Malaikat zombie itu berlutut di depanku, kepalanya tertunduk. Tanganku yang
disentuhnya terasa dingin dan kaku. Rasa takut yang besar bercampur dengan
kebingungan.
Tiba-tiba,
kilatan cahaya menyilaukan meledak dari balik kabut. Malaikat zombie itu
menjerit kesakitan, suaranya seperti lolongan serigala yang tersiksa. Cahaya
itu semakin terang, mengusir kabut dan menyingkapkan sosok lain di belakangnya.
Sosok itu berwujud manusia, tapi tubuhnya terbalut cahaya keemasan yang
berkilauan.
"Kembalilah
ke kegelapan, Abaddon!" sosok itu berseru, suaranya bergema penuh wibawa.
Malaikat zombie itu, yang kuketahui sekarang bernama Abaddon, menjerit sekali
lagi sebelum menghilang ke dalam kabut yang tersisa. Sosok bercahaya itu
mengulurkan tangannya kepadaku.
"Cepat,
kita harus pergi dari sini sebelum kabut kembali menutup," katanya. Aku
meraih tangannya dan dia membantuku berdiri. Kami berlari bersama, menjauh dari
Bukit Gelap yang kini diterangi sinar matahari. Sosok itu memperkenalkan
dirinya sebagai Mikael, pelindung dari tempat mengerikan itu.
Menurut
Mikael, Bukit Gelap adalah penjara bagi para malaikat yang jatuh. Abaddon, yang
dulunya adalah malaikat agung, dikutuk menjadi makhluk mengerikan karena
pemberontakannya. Kabut yang menyelimuti Bukit Gelap adalah manifestasi dari
kegelapan yang menyelimuti jiwanya.
Pengalamanku
di Bukit Gelap mengajariku bahwa terkadang, malaikat bukanlah makhluk suci yang
bersayap putih. Ada juga yang terjerumus ke dalam kegelapan, menjadi monster
mengerikan yang haus akan jiwa manusia. Dan di balik kabut tebal yang
menyelimuti misteri, selalu ada rahasia yang menunggu untuk disingkap, meski
terkadang harganya terlalu mahal untuk dibayar.