Melawan Perundungan dengan Persahabatan

bully

Jake berjalan menunduk menyusuri lorong sekolah, mendekap tas lusuh miliknya erat-erat. Seragamnya kusut, bekas semburan tinta terlihat samar di lengan bajunya. Ini bukan hal baru. Setiap hari, lorong ini menjadi tempat favorit komplotan Ben, berisikan anak-anak berbadan besar dengan suara lantang dan seringkali sinis.

"Hei, Jake!" Ben berseru, memecah keheningan yang menegangkan bagi Jake. Dua temannya, Toni dan Anton, menyeringai. Jake berhenti melangkah, hatinya berdebar.

"Siang, Ben," sapa Jake pelan.

"Tugas matematika sudah dikerjakan belum?" Ben bertanya, nada suaranya tak ubahnya menginterogasi.

Jake menggeleng lemah. "Belum, Ben."

"Dasar bodoh! Besok harus sudah selesai, atau..." Ben menjentikkan jarinya ke arah Toni, kode yang tak asing bagi Jake. Biasanya, kode itu diikuti dengan pukulan atau rampasan barang miliknya.

Jake menelan ludah. "Iya, Ben. Saya usahakan."

Ben terkekeh. "Dasar penakut!" ledek Toni, diikuti gelak tawa Anton. Ben lalu berlalu, diikuti kedua temannya, meninggalkan Jake yang kembali berjalan dengan langkah gontai.

Di kantin, Jake duduk sendirian di pojok, menyembunyikan wajah di balik buku pelajaran. Tak jarang, teman-teman Ben melempar bola kertas atau sisa makanan ke arahnya, tapi Jake hanya menunduk, tak berani melawan.

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Jake berjalan cepat menuju halte bus. Ia berharap tak bertemu Ben lagi hari ini. Namun, harapan itu pupus saat melihat Ben dan komplotannya sudah berdiri di sana, menghalangi jalan pulang Jake.

"Mau pulang duluan, hah?" Ben menjewer telinga Jake. "Ikut kami dulu!"

Jake dibawa ke lapangan kosong di belakang sekolah. Ben dan kedua temannya mulai mengeroyokinya. Jake terjatuh, tasnya ditendang hingga isinya berserakan. Ia meringkuk, melindungi kepalanya dengan tangan.

"Hajar saja, Ben!" seru Toni.

Tiba-tiba, suara lantang menggema. "Hentikan itu!"

Ben dan komplotannya menoleh. Di sana berdiri Sarah, ketua kelas yang dikenal pemberani. Sarah berjalan menghampiri mereka dengan tatapan tajam.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Sarah tegas.

Ben tergagap. "Tidak ada apa-apa, Sarah," kilahnya.

"Bohong! Aku melihat kalian—"

"Sudahlah, Sarah," potong Jake pelan. Ia berusaha berdiri meski tubuhnya gemetar.

Sarah menatap Jake prihatin. "Jake, kamu tidak apa-apa?"

Jake menggeleng. Ia memunguti buku dan barang-barangnya yang berserakan. Melihat itu, Sarah langsung membantu.

"Ayo, pulang bareng aku," ajak Sarah.

Jake ragu-ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. Sarah melangkah pergi, diikuti Jake di belakangnya. Ben dan komplotannya hanya bisa diam mematung, tak berani berulah lagi.

Sejak hari itu, Sarah selalu menemani Jake pulang pergi sekolah. Perlahan, Jake mulai bangkit dari keterpurukannya. Ia tak lagi takut berjalan sendirian di lorong sekolah. Ia sadar bahwa melawan perundungan tak harus selalu dengan kekerasan, tetapi juga dengan keberanian dan dukungan teman.

Dan untuk pertama kalinya, Jake melangkah dengan kepala tegak, bukan lagi dengan rasa takut yang selalu membayanginya. 

Lebih baru Lebih lama