Amir, Sang Firaun Modern

Amir, Sang Firaun Modern

"Eh, kok tombolnya banyak banget sih?" Amir, seorang teknisi biasa yang mendadak jadi luar biasa, menggerutu di depan layar komputer raksasa yang lebih mirip kokpit pesawat luar angkasa. 

Kepalanya dipenuhi rasa bingung, sementara tangannya sibuk meraba-raba keyboard. Tidak ada peringatan atau panduan pengguna yang bisa membantu, hanya sekumpulan tombol aneh dengan simbol hieroglif kuno.

"Kenapa gue yang dipilih buat tugas ini? Kan gue cuma teknisi printer biasa!" Amir terus saja bergumam, mengutuki nasibnya.

Siapa sangka, hanya karena tidak sengaja menekan tombol 'Enter' di server kantor, dia tiba-tiba ditransfer ke ruang kontrol teknologi Mesir kuno yang ternyata tersembunyi di bawah gedung kantornya.

Lebih gila lagi, di sinilah ia duduk, mengenakan pakaian merah cerah yang entah dari mana datangnya, lengkap dengan mahkota firaun di kepalanya.

Sebuah layar di hadapannya tiba-tiba menyala. "Selamat datang, Firaun Baru. Anda telah terpilih untuk mengontrol dunia melalui piramida superkomputer ini," bunyi suara elektronik yang terdengar seperti perpaduan antara Siri dan arwah nenek moyang.

"Firaun? Gue?! Aduh, salah orang kali nih," Amir teriak, matanya melotot tak percaya.

Tapi, sebelum dia bisa protes lebih jauh, layar berikutnya menampilkan serangkaian instruksi dalam bahasa yang tidak dikenalnya. Mau tak mau, ia menekan tombol-tombol secara acak, berharap ada tombol undo atau setidaknya tombol ‘help’.

"Firaun, Anda baru saja mengirimkan sinyal penguasaan ke seluruh dunia. Sekarang, semua peradaban tunduk di bawah kekuasaan Anda," suara elektronik itu terus saja berbicara, seolah tak peduli kebingungan Amir.

"Ngapain gue nguasain dunia? Beneran salah orang nih!" Amir meraba mahkota di kepalanya, berharap itu semua cuma mimpi aneh karena kelelahan kerja.

Tiba-tiba, pintu otomatis di belakangnya terbuka. Seorang pria berjas putih masuk, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Ah, Firaun yang baru, kami sudah menantikan kedatangan Anda. Saya adalah penasihat utama Anda, Zain. Apa perintah pertama Anda?"

"Perintah? Eh, tunggu... gue butuh kopi dulu deh, mungkin otak gue lagi ngelag," jawab Amir, berusaha mencerna situasi.

"Segera, Yang Mulia. Sambil menunggu, mungkin Anda bisa mulai memeriksa armada UFO kita? Mereka sedang standby di orbit Mars," Zain menjawab sambil tersenyum tipis, seolah menganggap permintaan kopi Amir sebagai hal yang sepenuhnya normal.

"UFO?! Mars?! Ini pasti lelucon April Mop yang kelewat batas. Gue beneran cuma teknisi biasa, bro. Bukan Firaun atau apalah," Amir nyaris putus asa, tetapi tangannya dengan refleks mulai mengecek layar yang menampilkan armada luar angkasa dalam formasi siap tempur.

"Maaf, Yang Mulia, tetapi DNA Anda telah cocok dengan Firaun pertama. Anda adalah penerus sah dari dinasti yang telah lama hilang," Zain menjelaskan dengan nada serius, membuat Amir semakin bingung.

"Jadi, cuma gara-gara genetik gue doang? Ini kayak acara TV ya, 'Who Wants to be a Pharaoh?'" Amir mencoba bercanda, tapi malah terdengar seperti orang yang benar-benar tersesat.

"Ya, persis seperti itu, Yang Mulia. Namun, ini bukan permainan. Masa depan dunia ada di tangan Anda," Zain menjawab tanpa sedikit pun tawa.

Amir menghela napas panjang. "Baiklah, kalo gitu... kita bikin dunia ini lebih... nyaman? Apa yang harus gue tekan biar ada AC di semua tempat? Kalo bisa, tambah Netflix gratis juga buat semua orang."

Zain menatap Amir sejenak, lalu mulai memasukkan perintah ke dalam komputer. "Permintaan yang unik, tapi akan segera diproses. AC global dan hiburan gratis untuk semua. Ada lagi, Yang Mulia?"

Amir berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. "Ya, satu lagi. Tolong buat tombol undo di sini, siapa tahu gue bikin kesalahan fatal."

Zain mengangguk serius. "Permintaan yang sangat bijaksana, Yang Mulia. Akan segera dilaksanakan."

Dan begitulah, Amir, teknisi printer biasa yang mendadak jadi Firaun teknologi super, memulai pemerintahannya dengan satu misi utama: membuat dunia lebih nyaman dan mengurangi jumlah tombol yang membingungkan di layar komputernya. Karena, siapa sangka, menyelamatkan dunia bisa dimulai dari hal sederhana seperti AC dan Netflix.

Lebih baru Lebih lama