Bayangan hitam itu berdiri di tengah genangan air yang memantulkan kilauan bintang-bintang di atasnya. Tanpa wajah yang terlihat, jubah hitamnya seolah menyatu dengan kegelapan langit malam. Langkah-langkahnya tak terdengar, namun setiap gerakan terasa berat, seolah ia membawa beban semesta.
Di balik sosok tak kasat mata ini, angkasa menggelora dengan cahaya bintang yang membentuk nebula bercahaya oranye, seperti sebuah letusan energi yang baru saja tercipta.
Makhluk itu bukan manusia. Bukan pula dewa dalam mitos-mitos kuno. Ada sesuatu yang lebih mendalam, lebih tua dari apa yang bisa dicerna oleh pikiran manusia.
Cahaya bintang yang bersinar di langit, bagi dia, bukanlah hiasan alam semesta, melainkan jejak-jejak dari waktu yang telah ia lalui. Setiap bintang adalah saksi bisu dari keabadian yang ia jalani.
Satu bintang meledak, mengeluarkan kilauan cahaya yang menyilaukan sejenak, lalu lenyap. Makhluk itu mendongak, seolah merasakan suatu panggilan yang tak terdengar oleh makhluk biasa.
Sejenak ia diam, memandangi kehancuran bintang itu. Tangan yang tersembunyi di balik jubahnya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya yang tak terlihat, cahaya kecil mulai tumbuh. Cahaya itu berpendar lembut, menari di udara sebelum melesat ke angkasa, menempati tempat di mana bintang sebelumnya telah lenyap.
Bagi makhluk ini, penciptaan dan kehancuran adalah bagian dari siklus yang ia pahami sejak lama. Dia hadir saat bintang lahir, dan dia menyaksikan saat mereka mati.
Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Cahaya kecil yang baru saja ia lepaskan ke angkasa tampaknya berdenyut aneh, lebih cepat dari biasanya.
Dia bisa merasakan ada gangguan dalam harmoni alam semesta. Sebuah ketidakseimbangan yang perlahan merayap ke setiap sudut galaksi, mengubah pola-pola yang sudah lama ia kenali.
Langit mulai berubah. Bukan lagi lautan bintang yang damai, tetapi medan peperangan antara cahaya dan kegelapan.
Dia tahu, sesuatu sedang bergerak. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar ledakan bintang atau nebula yang terbentuk. Itu adalah kehadiran makhluk lain seperti dirinya, namun dengan niat yang berbeda. Yang satu ini tak berusaha menjaga keseimbangan, melainkan merusaknya.
Jubahnya berkibar saat angin tiba-tiba berhembus, meski tak ada udara di sini, di tepi dimensi ini. Di bawah permukaan air, bayangan lain muncul, samar-samar, mendekat. Dia tak perlu menoleh untuk tahu bahwa ancaman sudah dekat.
Tanpa kata, tanpa suara, kedua makhluk ini bertemu pandang—walau tak ada mata yang terlihat. Yang satu adalah penjaga harmoni, yang lain adalah perusak tatanan.
Bintang-bintang di atas mereka berkedip, seolah merasakan ketegangan yang memuncak di antara kedua sosok itu. Cahaya-cahaya kecil mulai berguguran dari langit, seperti hujan meteor, tetapi ini bukan fenomena alam biasa. Ini adalah tanda bahwa tatanan mulai runtuh.
Sang perusak mendekat, membawa kegelapan yang seolah menelan segala cahaya di sekitarnya. Bagi manusia, kegelapan adalah hal yang menakutkan. Namun bagi makhluk penjaga ini, kegelapan adalah bagian dari dirinya juga.
Ia tak takut. Dengan gerakan perlahan namun penuh kekuatan, ia mengangkat tangannya sekali lagi, kali ini bukan untuk menciptakan bintang baru, tetapi untuk melindungi yang sudah ada.
Bintang-bintang di langit mulai bersinar lebih terang, menyala-nyala seolah membalas kegelapan yang merayap di bawahnya. Peperangan ini bukanlah tentang menang atau kalah. Ini tentang menjaga keseimbangan yang halus, keseimbangan yang bahkan manusia tak akan pernah menyadari keberadaannya.
Di antara keheningan semesta yang dipenuhi oleh cahaya dan kegelapan, makhluk penjaga itu berdiri teguh. Karena inilah tugasnya. Tidak peduli berapa kali kegelapan datang, dia akan selalu ada. Tanpa suara, tanpa riuh, tapi dengan kekuatan yang tak terukur, menjaga tatanan alam semesta agar tetap seperti yang seharusnya.