Kapten Mukidi dan Misi Gagal Perang Lawan Kambing

perang

"Gimana caranya bisa salah milih hari buat perang?" pikir Kapten Mukidi sambil berkeringat dingin. 

Dengan ekspresi wajah yang nggak karuan, dia melihat ke arah anak buahnya yang berbaris di belakang. Satu per satu mereka tampak semangat, nggak tahu kalau sebenarnya mereka sedang berjalan menuju desa yang... salah.

Semua ini gara-gara serangan fajar yang dibumbui briefing serba cepat dari Jenderal Suroto. 

"Lawan ada di depan mata! Mereka akan segera menyerang, kita harus mendahului mereka!" Begitu katanya dengan penuh wibawa. 

Mukidi, yang setengah mengantuk karena semalaman nonton serial kesayangannya, cuma bisa manggut-manggut tanpa benar-benar paham.

"Perang ini harus menang, Kapten!" seru Jenderal, sambil memberikan peta yang terlihat seperti di-print buru-buru di warnet sebelah.

"Nggak masalah, Pak! Pasti bisa!" jawab Mukidi sok pede.

Tapi sekarang? Dia baru sadar. Jalan yang mereka lalui ternyata... bukan menuju medan perang. Tapi ke desa sebelah yang terkenal karena pasar kambingnya setiap hari Selasa. Dan hari ini? Selasa.

Pas Mukidi lagi galau, tiba-tiba Sersan Bodong datang dengan tampang bingung, "Kapten, kenapa dari tadi kita nggak ketemu musuh ya?"

Mukidi menghela napas panjang. "Bodong, kamu bawa peta yang aku kasih?"

"Bawa, Kapten! Nih!" jawab Bodong sambil mengeluarkan peta yang kusut dari kantong celananya. 

Mukidi buru-buru merampas peta itu dan melirik sekilas. Matanya melebar.

"Peta ini buat ke... pasar kambing?" Mukidi berseru dengan panik. Mukanya pucat, bibirnya bergetar. 

"Kita mau perang lawan kambing sekarang?!"

Anak buahnya yang lain juga mulai ngeh. Ada yang ketawa, ada yang bingung. Tapi yang jelas, suasana jadi nggak serius lagi.

"Beneran, Pak? Pasar kambing?" tanya Prajurit Ucup yang masih pakai helm miring.

Mukidi merasa seluruh hidupnya sedang dipermainkan. "Ya, pasar kambing, Cup. Kita ke sini bukan buat perang, tapi mungkin buat beli kambing buat kurban."

Semua tertawa. Dari yang awalnya tegang karena mikir bakal berhadapan dengan musuh bersenjata lengkap, sekarang mereka malah siap-siap berhadapan dengan kambing-kambing yang lagi malas digiring ke pasar.

"Kapten! Lihat!" seru Prajurit Jambrong sambil menunjuk ke depan. Benar saja, di ujung jalan, terlihat beberapa kambing gemuk yang sedang malas-malasan, dengan beberapa peternak lokal yang mengawasi sambil ngopi.

Mukidi memejamkan mata. "Ini perang macam apa? Aku cuma mau nonton serialku dengan tenang..."

Tapi semuanya berubah ketika salah satu kambing, tanpa alasan yang jelas, mulai lari ke arah mereka. Dengan langkah-langkah besar dan suara mengembik yang menggema, kambing itu kelihatan kayak... musuh beneran!

"TEMBAK!" seru Mukidi tanpa pikir panjang. Tapi tentu saja, nggak ada yang berani nembak. Mereka cuma berdiri di tempat, menahan ketawa sambil liat Kapten Mukidi yang panik.

"Kapten, itu cuma kambing!" ujar Bodong sambil terpingkal-pingkal.

Kambing itu akhirnya berhenti di depan Mukidi, menatapnya sebentar dengan pandangan kosong, lalu kembali berlari ke arah pasar. Semua orang masih tertawa, termasuk Mukidi, yang akhirnya nyadar betapa konyol situasinya.

"Baiklah, kita balik ke markas," kata Mukidi akhirnya dengan nada lesu. 

"Tapi kalau ditanya Jenderal kenapa kita gagal menyerang, bilang aja... kita kalah sama kambing."

Sambil berjalan pulang, Mukidi membatin, "Harusnya aku nggak tidur telat gara-gara serial itu." 

Dan anak buahnya, meski batal berperang, tetap merasa hari itu adalah salah satu momen paling lucu dalam sejarah militer mereka.

Terkadang, nggak semua pertempuran perlu peluru. Kadang, musuh terbesar adalah kebingungan... dan kambing.

Lebih baru Lebih lama