Dua Sisi Kehidupan Yono dan Yolo

yono dan yolo

Berawal dari aroma masakan yang memenuhi rumah kecil itu, Yono berdiri di dapur, mengaduk sup sayur dengan wajah serius. Hatinya tak tenang, meski tangan terus bergerak otomatis. Di meja makan, Yolo duduk bersandar, wajahnya lelah, tapi matanya tetap penuh dengan rasa tak peduli khas dirinya.

“Jadi... lu beneran udah gak ada duit sama sekali?” tanya Yono pelan, mencoba menahan nada suaranya agar tidak terdengar menghakimi.

Yolo tertawa pendek, masam. “Ya iya lah. Duit kan buat dihabisin, bukan buat dikumpulin kayak lu, No.”

Yono menghela napas. “Tapi, Lo, hidup gak segampang itu. Lu pikir nanti, pas tua, siapa yang bakal tanggung jawab kalo lu sakit atau butuh sesuatu?”

“Gue gak bakal hidup sampe tua,” jawab Yolo ringan. “Hidup cuma sekali, No. Ngapain mikirin yang belum tentu datang?”

Kata-kata itu menusuk Yono. Bukan karena ia tak paham pola pikir kakaknya—ia paham, terlalu paham. Tapi ia tidak pernah tahu cara menyelamatkan Yolo dari keyakinannya sendiri. Setiap upaya selalu dibalas dengan tawa kecil atau ejekan yang membuatnya merasa seperti orang tua cerewet.

Yono kembali fokus pada sup di depannya, sementara Yolo memandang keluar jendela. Suara burung-burung kecil terdengar samar, tapi di kepala Yono, semua suara bercampur menjadi satu: kekhawatiran, rasa frustrasi, dan rasa lelah yang tak kunjung reda.

Setelah makan malam yang dihabiskan dalam keheningan, Yolo berdiri, mengambil jaket lusuhnya, dan berkata, “Gue keluar bentar.”

Yono memandangnya dengan tatapan penuh tanya. “Keluar ke mana malam-malam begini?”

“Ya, nongkrong. Hirup udara segar. Hidup gue kan cuma sekali, No. Lagian, gue gak bakal mati malam ini,” ujar Yolo sambil tersenyum miring.

Yono hanya menggeleng pelan, terlalu lelah untuk membantah. Ia tahu Yolo tak akan mendengarkan. Selalu begitu.


Keesokan paginya, telepon rumah berdering keras, memecah keheningan. Yono yang sedang menyiram tanaman buru-buru masuk ke dalam untuk mengangkat.

“Ini dengan keluarganya Yolo?” tanya suara di seberang sana.

“Iya, saya adiknya,” jawab Yono, bingung.

“Kami dari rumah sakit. Kakak Anda mengalami kecelakaan tadi malam. Kami mohon Anda datang segera.”

Waktu seakan berhenti. Panci di atas kompor mengeluarkan bunyi mendesis karena airnya mendidih, tapi Yono tak bergerak. Tangannya gemetar saat ia meletakkan gagang telepon.


Ruangan rumah sakit itu terasa dingin, meski AC-nya tidak terlalu kencang. Yolo terbaring di atas ranjang, wajahnya penuh luka. Napasnya terdengar berat, terputus-putus.

“Lo...” bisik Yono, mencoba menahan air mata. “Kenapa sih lu selalu... selalu kayak gini?”

Yolo membuka matanya perlahan. Senyumnya, meski lemah, masih ada. “Gue bilang kan, No... hidup cuma sekali.”

“Dan lihat di mana kita sekarang!” seru Yono, suaranya pecah. “Lu pikir gue gak capek, Lo? Lihat lu terus-terusan kayak gini? Gue udah capek jadi orang yang mikirin semuanya buat lu!”

Yolo terdiam. Tangannya yang gemetar mencoba meraih tangan Yono. “Gue... gak pernah nyangka bakal jadi beban buat lu, No. Gue kira... gue hidup buat seneng-seneng aja.”

Yono menggenggam tangan kakaknya erat. “Lo bukan beban, Lo. Tapi gue gak bisa terus-terusan begini. Gue gak mau kehilangan lu.”

Air mata mulai mengalir di pipi Yolo. “Gue cuma gak tau cara hidup kayak lu, No. Gue takut. Takut kalo gue nabung atau mikirin masa depan, gue malah lupa caranya menikmati hidup.”

“Dan gue takut lu gak bakal ada di masa depan itu,” jawab Yono dengan suara bergetar.

Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar suara mesin yang mengatur detak jantung Yolo. Dalam keheningan, mereka berdua menangis. Bukan karena rasa sakit atau kehilangan, tapi karena akhirnya saling memahami.

Yolo menatap adiknya dengan mata penuh penyesalan dan rasa terima kasih. “Gue... maaf, No.”

Yono tersenyum kecil, meski matanya masih basah. “Gue juga minta maaf. Tapi, Lo, kali ini lu harus berjuang. Hidup cuma sekali, kan? Jangan sia-siain lagi.”

Yolo mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada hal lain yang lebih penting daripada menikmati hidup untuk diri sendiri.

Lebih baru Lebih lama